Mohon tunggu...
Nurmalasari
Nurmalasari Mohon Tunggu... Konsultan - Public Health Specialist

Passionate in Youth4Health & Mental Health | SDGs, Social Network, & Indigenous Enthusiasts

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lahir di Tengah Kemiskinan, Bukan Keinginanku!

21 Januari 2014   11:22 Diperbarui: 17 September 2018   22:22 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Juara 1 Lomba KTI di Padang

Lahir di tengah kemiskinan, memang bukan keinginanku. Itu adalah takdir yang harus aku jalani, meskipun  kemiskinan terasa terlalu kuat menjerat setiap impian yang dimiliki keluargaku,  Bapakku, Ibukku, dan Kakakku.

Aku masih ingat perkataan Ibukku terhadapku malam itu bahkan masih tergambar dengan jelas, “Nduk, masio  Bapak ambek Ibukmu gak iso sekolah, terus mbakmu iso sekolah sampek SMP  thok, awakmu kudu iso sekolah dukur. Ojok sampek awakmu dadi koyok  Bapak, Ibukmu, ambek Mbakmu”

Ya, kemiskinan akhirnya menggantung impian mereka untuk bisa sekolah. Bapakku, harus berhenti sekolah SD karena harus bekerja untuk menghidupi  keluarga dan adik-adiknya. Begitu juga dengan Ibukku. Akhirnya,  merembet ke kakakku, yang harus 'membungkam' impiannya untuk bisa  melanjutkan sekolahnya ke jenjang SMA, karena kondisi keuangan keluarga  yang tidak memungkinkan.

Semua impian mereka terakumulasi dalam hidupku. Tetapi, ketika  kemiskinan berbicara, akankah aku menjadi korban selanjutnya? Pertanyaan  itu selalu terngiang dalam setiap langkahku ketika aku kelas 6 SD.

“Nduk, belajaro sing patheng. Dadi anak sing pinter, ben isok melbu SMP  Pasirian. Masio wong melarat, tapi anakku kudu dadi wong sukses, sekolah  ndek sekolah favorit, koyok mbakmu”

Perkataan ibukku adalah sebuah kekuatan bagiku. Aku pun belajar keras agar bisa masuk SMP Favorit di daerahku. Tidur jam 9 malam dan harus bangun jam 2 malam untuk tahajud dan belajar. Ya, ibuku selalu menemaniku belajar, meskipun tidak bisa membantuku belajar, karena beliau buta huruf, sebab tidak bisa bersekolah. Sedangkan, Bapakku tiap malam harus jaga irigasi di sawah. Semacam Polisi Perairan di desa. 

Belajar di waktu pagi hari memang waktu yang paling baik, ibuku mengerti itu. Hingga akhirnya bisa menjadi Peringkat 2  nilai UN terbaik se-kecamatan. Kepala Sekolahku sampai nangis dan berusaha membantu biaya pendaftaranku untuk masuk SMP Pasirian itu. Berkat bantuan tersebut, akupun berhasil masuk SMPN 1 Pasirian,  SMP yang terkenal dengan lulusannya yang sukses dan pintar-pintar.

 

*****

 

Konsekuensinya ketika masuk di sekolah favorit tersebut adalah biaya sekolah yang  kelewat mahal pada jaman itu. Aku rasanya pengen keluar saja dari SMP itu, tapi ibukku  selalu bilang bahwa uang bisa dicari, tapi yang penting aku bisa sekolah  di SMP itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun