Mohon tunggu...
Nurmala Hidayatullah
Nurmala Hidayatullah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hobi saya yaitu, membaca, menonton, healing

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Teori Empati Menurut Martin Hoffman

18 Januari 2025   07:28 Diperbarui: 18 Januari 2025   07:28 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Martin Hoffman adalah seorang psikolog perkembangan yang dikenal karena teori empatinya, khususnya dalam konteks perkembangan moral. Menurut Hoffman, empati adalah kemampuan untuk merasakan atau memahami keadaan emosional orang lain, yang berkembang secara bertahap sepanjang hidup seseorang. Teori Hoffman menekankan bahwa empati tidak hanya merupakan faktor biologis, tetapi juga dipengaruhi oleh proses perkembangan kognitif dan sosial. Empati Menurut Hoffman, hal itu memainkan peran penting dalam mendorong perilaku prososial, seperti membantu, berbagi, dan peduli terhadap kesejahteraan orang lain. Dalam teorinya, ia mengidentifikasi berbagai tahap dalam pengembangan empati dan mekanisme yang terlibat dalam respons empati.

Tahapan perkembangan empati

Hoffman menjelaskan bahwa empati berkembang dalam empat tahap utama seiring pertumbuhan individu:

1. Empati Global (0-1 tahun)

Aktif Pada tahap ini, anak-anak bereaksi terhadap emosi orang lain secara refleks, tanpa memahami bahwa emosi tersebut berasal dari orang lain. Ketika anak-anak melihat orang lain menangis, mereka cenderung ikut menangis, bukan karena mereka memahami emosi tersebut, tetapi karena mereka merasakannya sebagai bagian dari diri mereka sendiri.

Contoh: Jika seorang anak melihat anak lain menangis, ia mungkin juga menangis karena ia merasa "terinfeksi" oleh emosi ini, meskipun ia belum dapat memahami sumber emosi ini.

2. Empati egosentris (1 hingga 2 tahun)

Pada tahap ini, anak-anak mulai memahami bahwa orang lain memiliki emosi yang berbeda dari emosi mereka sendiri. Namun, respons mereka terhadap emosi orang lain tetap egois, artinya mereka berusaha menenangkan orang lain dengan cara yang mereka yakini akan menenangkan mereka sendiri. 

Contoh: Seorang anak yang melihat temannya menangis mungkin akan memberikan mainannya untuk menghibur temannya, meskipun mainan tersebut tidak ada hubungannya dengan apa yang membuatnya menangis. Temannya sedih.

3. Empati terhadap perasaan orang lain (2 hingga 3 tahun)

Pada tahap ini, anak-anak mulai memahami bahwa emosi orang lain mungkin berbeda dari emosi mereka sendiri dan dapat merespons kebutuhan emosional orang lain dengan lebih tepat. 

Contoh: Seorang anak yang melihat orang tuanya bersedih mungkin akan menawarkan pelukan atau kata-kata penghiburan, karena mengetahui bahwa orang tuanya membutuhkan dukungan emosional.

4. Empati terhadap kondisi kehidupan orang lain (usia sekolah ke atas)

Pada tahap ini, anak-anak dan remaja mulai memahami bahwa emosi orang lain tidak hanya disebabkan oleh situasi saat ini, tetapi juga oleh kondisi kehidupan yang lebih luas. Mereka dapat menunjukkan kepekaan terhadap isu-isu yang kompleks, seperti ketidakadilan sosial atau kesulitan ekonomi.

Contoh: Seorang remaja mungkin merasa sedih dan termotivasi untuk membantu ketika mengetahui bahwa seseorang kehilangan rumahnya karena bencana alam.

Mekanisme empati

Hoffman mengidentifikasi beberapa mekanisme yang mendukung respons empati seseorang, yaitu:

1. Mimikri emosional

Ini adalah proses otomatis di mana seseorang meniru ekspresi emosi orang lain, seperti tersenyum ketika melihat orang lain tersenyum. Peniruan ini membantu individu mendengar apa yang didengar orang lain.

2. Saya secara langsung merasakan keadaan emosional

Ketika seseorang Dengan mengamati situasi sulit, mereka dapat merasakan emosi orang lain melalui pengalaman langsung, misalnya merasa cemas saat melihat seseorang dalam bahaya.

3. Pengambilan perspektif kognitif 

Individu menggunakan kemampuan kognitif mereka untuk memahami situasi emosional orang lain, termasuk faktor-faktor yang memicu emosi tersebut. 

4. Bagian dalam norma moral

Kepekaan juga dipengaruhi oleh norma-norma moral yang diinternalisasi, yang memotivasi seseorang untuk membantu atau mendukung orang lain berdasarkan nilai-nilai moral yang dimilikinya.

Peran empati dalam perkembangan moral

Hoffman percaya bahwa empati merupakan bagian penting dari perkembangan moral. Dikatakan bahwa empati memotivasi seseorang untuk mengambil tindakan yang mendukung kesejahteraan orang lain, bahkan jika itu memerlukan pengorbanan.Hoffman mengidentifikasi tiga cara di mana empati mendukung perilaku. moral:

1. Empati menumbuhkan perilaku prososial:

 Empati membuat seseorang lebih peka terhadap penderitaan orang lain, membuat mereka lebih cenderung untuk membantu.

2. Empati menumbuhkan kecerdasan moral: 

Dengan memahami emosi orang lain, seseorang dapat mempelajari pentingnya keadilan dan tanggung jawab sosial.

3. Empati membentuk motivasi moral: 

Respons emosional terhadap penderitaan orang lain memotivasi seseorang untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai moral.

Menerapkan teori Hoffman dalam kehidupan

1. Pendidikan anak

Orang tua dan guru dapat mendukung pengembangan empati pada anak dengan mencontohkan perilaku empati dan mengajari mereka pentingnya memahami perasaan orang lain.

Contoh : Guru mengajarkan pentingnya berbagi dan menolong teman yang kesusahan.

2. Psikologi sosial

Teori Hoffman membantu menjelaskan bagaimana empati dapat digunakan untuk mengurangi konflik, meningkatkan solidaritas dan mendorong perilaku altruistik dalam masyarakat.

Contoh: Kampanye sosial yang membahas penderitaan kelompok tertentu sering kali dirancang untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap kelompok tersebut.

3. Psikoterapi

Dalam terapi, empati memainkan peran penting dalam membangun hubungan antara terapis dan klien, membantu klien merasa didukung dan dipahami.

Kesimpulan

Teori empati Martin Hoffman menawarkan pemahaman mendalam tentang bagaimana empati berkembang dan berperan dalam kehidupan manusia. Empati bukan sekadar respons emosional, tetapi juga melibatkan proses kognitif dan moral yang kompleks. Dengan memahami teori ini, kita dapat lebih efektif mendukung pengembangan empati pada anak-anak, menciptakan hubungan sosial yang lebih baik, dan membangun masyarakat yang lebih memperhatikan dan responsif terhadap kebutuhan orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun