Dewasa ini, para remaja menghadapi tuntutan, harapan, serta resiko-resiko yang nampaknya lebih banyak dan kompleks daripada yang dihadapi oleh remaja pada generasi sebelumnya. Papalia (2003) menggambarkan masa remaja sebagai waktu yang berat bagi remaja dan orang tua. Konflik keluarga, depresi, dan perilaku beresiko tampaknya lebih umum dibandingkan bagian lain dari rentang kehidupan.
Selain tuntutan dan konflik yang muncul dari keluarga, sekolah diperkirakan menjadi salah satu sumber masalah. Sekolah memiliki arti penting bagi remaja, khususnya bagi siswa sekolah menengah. Akan tetapi, pada saat yang sama sekolah juga menjadi sumber masalah bagi siswa. Di sekolah, siswa dihadapkan pada banyak tuntutan belajar yang tinggi yang membuat mereka mengalami masa-masa yang penuh stres. Tuntutan tersebut seperti tuntutan dari orang tua maupun guru bahwa siswa harus mendapat nilai yang baik pada semua mata pelajaran.
Agar remaja atau siswa sekolah menengah dapat menyikapi berbagai tuntutan sekolah secara positif, maka diperlukan kemampuan untuk mencegah, meminimalkan, dan bahkan menghilangkan dampak merugikan dari tuntutan sekolah yang tidak menyenangkan (adversity) tersebut. Kemampuan untuk menghadapi kondisi tersebut disebut dengan resiliensi. Menurut Desmita (2014) resiliensi merupakan kekuatan dasar yang menjadi fondasi dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologis seseorang. Tanpa adanya resiliensi, tidak akan ada keberanian, tidak ada ketekunan, tidak ada rasionalitas, dan  tidak ada insight.
Resiliensi merupakan salah satu kebutuhan yang penting bagi individu untuk dapat berfungsi secara efektif. Resiliensi juga dipandang memegang peranan yang penting dalam kehidupan. Sebagaimana penelitian yang dilakukan Reivich (2002) yang menemukan bahwa resiliensi merupakan faktor esensial bagi kesuksesan dan kebahagiaan.Â
Grotberg (1995) juga menegaskan bahwa resiliensi merupakan hal yang penting karena ia merupakan kapasitas individu untuk menghadapi, melewati, dan menjadi kuat dalam menghadapi berbagai kondisi yang tidak menyenangkan dalam hidup. Sehingga orang yang resilien (memiliki resiliensi tinggi) ketika dihadapkan pada sebuah kondisi yang tidak menyenangkan (adversity), kondisi yang penuh dengan tekanan, tuntutan atau harapan, orang tersebut akan mampu bertahan bahkan menjadi lebih baik daripada sebelumnya.
Selain menjadi hal yang penting dalam kehidupan, seorang yang memiliki resiliensi tinggi akan lebih mudah beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang tidak menyenangkan dan menekan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Siebert (2005), Rinaldi (2010), dan Widuri (2012) bahwa orang yang memiliki resiliensi yang tinggi memiliki kemampuan penyesuaian diri yang baik, fleksibel, mudah beradaptasi dengan perubahan, serta berhasil menyesuaikan diri terhadap tekanan yang terjadi.
Namun sayangnya, kondisi seseorang yang resilien tersebut masih kurang terlihat di kalangan siswa sekolah menengah pertama (SMP), terutama pada siswa sekolah di sekolah berbasis pondok (boarding school). Siswa boarding school memiliki kegiatan yan begitu padat, hampir 24 jam waktunya mereka gunakan di sekolah dan di pondok.Â
Di samping aktivitas yang begitu padat, ada kebijakan yang cukup ketat di boarding school atau pondokan, seperti pembatasan menonton televisi, pembatasan penggunaan handphone, pembatasan ketika keluar dari area pondok, dan sebagainya. Gambaran kondisi tersebut merupakan beberapa kondisi yang yang harus dihadapi siswa, yang mana jika tidak disikapi secara bijak dapat memicu terjadinya masalah.
Berdasarkan studi awal yang dilakukan di empat sekolah berbasis boarding school di daerah Ungaran, peneliti menemukan bahwa rata-rata resiliensi siswa di dua sekolah berada pada tingkat tinggi dan di dua sekolah lain berada pada tingkat sedang. Salah satu sekolah yang siswanya memiliki tingkat resiliensi sedang adalah Muhammadiyah Boarding School Ungaran atau SMP Muhammadiyah Ungaran. Mayoritas tingkat resiliensi siswa Muhammadiyah Boarding School berada dalam kategori sedang sebanyak 70% dan 30% dalam kategori tinggi.Â
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Sekolah di Muhammadiyah Boarding School, Â didapat informasi bahwa ada beberapa siswa yang merasa terbebani ketika harus tinggal di asrama. Ada banyak masalah yang terjadi di sekolah maupun di pondok. Masalah yang terjadi biasanya berkaitan dengan pelangaran terhadap tata tertib. Masalah lain yang sering terjadi adalah siswa merasa tidak nyaman berada di pondok karena memang fasilitas yang seadanya serta masalah interaksi sosial dengan teman-teman sebaya. Jika siswa tidak kuat dengan aktivitas di sekolah serta pondok yang padat, maka siswa akan memilih untuk keluar.
Pelanggaran yang dilakukan oleh siswa tersebut merupakan salah satu bentuk perilaku negatif yang terjadi jika tidak mampu bertahan atau belum mampu resilien. Kondisi di lapangan senada dengan yang dikatakan Moss dan Laurent sebagaimana dikutip oleh Fonny, Fidelis, dan Lianawati (2006) bahwa individu yang memiliki resiliensi rendah cenderung cepat menjadi frustasi dalam menghadapi tugas pendidikan. Selain itu, resiliensi yang rendah dapat menimbulkan dampak yang negatif. Dampak tersebut dapat berupa gejala emosional, kognitif, hubungan interpersonal, dan organisasional (Amelia, Asni, dan Chairilsyah, 2013).