Di Pengadilan Tangerang, misalnya, terjadi pada kasus Prita Mulyasari, yang mengaku dikecewakan oleh Rumah Sakit Omni Internasional. Karena menyebarkan keluhannya ke masyarakat lewat internet, Omni memerkarakan Prita. Omni menyeret Prita ke perkara pidana sekaligus perdata. Dari proses kasusnya, kelihatan Prita akan kalah. Dalam kasus pidana, Prita malah sempat ditahan jaksa penuntut umum. Rupanya jaksa berobat gratis di rumah sakit ini.
Sedangkan untuk soal perdata, Omni lagsung berada di atas angin. Kendati sebagai korban rumah sakit, pengadilan tetap menghukum Prita ganti rugi Rp 204 juta untuk Omni. Di sinilah masyarakat melihat ketidak adilan terkoyak. Gelombang aksi dukung Prita pun terjadi. Hingga kemudian, hakim "terpaksa" menolak dakwaan jaksa. Bahkan masyararakat membantu Prita, mengumpulkan koin untuk memenuhi vonis hakim itu.
Kasus Prita ini sebenarnya mengemuka karena soal pidananya, bukan soal perdatanya. Jika Omni cuma menggunakan hukum perdata, barangkali bunyinya tak segegap gempita ini. Cukup banyak kasus perdata yang muncul di pengadilan, namun sedikit yang masuk ke media massa. Sebab, perdata kurang seksi di mata jurnalis. Masalahnya, perdata lebih banyak urusan personal, sedikit saja kasus yang melibatkan publik. Karena itulah kasus perdata gampang menjadi ladang permainan hukum.
Itulah sebabnya, ada sebutan bahwa untuk bertarung dalam perdata perlu nafas panjang dan vitamin yang banyak. Sebab peradilannya akan memakan waktu yang lama dan menghabiskan banyak uang. Jika nafas pendek dan vitamin pun sedikit, maka akan kalah. Perkara perdata adalah salah satu pulung besar bagi mafia hukum di pengadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H