Mohon tunggu...
Nurlis E Meuko
Nurlis E Meuko Mohon Tunggu... -

Mantan wartawan TEMPO yang bermukim di Depok, Jawa Barat. Kini menjadi blogger di tempointeraktif.com, dan juga telah terdaftar sebagai kompasianer. Selain itu tetap menjadi penulis lepas sembari membangun sendiri sebuah situs bernama www.jakcity.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bupati, Wartawan, dan Pelacur

14 Juli 2010   01:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:53 1092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengendarai Toyota Innova, kami bergerak dari Hotel Hermes, Lampineueng, Banda Aceh. Tujuannya Blang Pidie, Aceh Barat Daya. Disopiri Salamuddin dengan kecepatan 80-100 kilometer per jam, sebentar sudah ada di Leupeueng, Aceh Besar. Gunung Geurutee sudah di depan mata.

Hari itu, Sabtu akhir April lalu,  cuaca sore terlihat cerah. Pemandangan indah masih terukir sepanjang pantai. Jalan di pegunungan yang berkelok-kelok, bersisian dengan hamparan biru laut hingga ke kaki langit. Masuk Lamno, hingga Calang masih terlihat sisa-sisa hantaman bencana tsunami enam tahun silam.

Jejak jembatan sudah bergeser ke laut, jalan-jalan raya ada yang lenyap. Kini untuk mencapai Meulaboh, Aceh Barat, saja harus melewati dua sungai tanpa jembatan, dibantu rakit. Daerah ini seperti terhempas ke masa silam, era sebelum tahun 80-an.

Banyak jalan baru yang belum jadi. Tapak ban mobil tergambar di jalanan merah tanah liat. Sejumlah bukit telah dibelah untuk jalan baru. Melewati jalan ini perlu usaha tersendiri. Apalagi terkadang harus melewati tepian pantai yang tak jelas apakah itu jalan apa bukan.

Di medan yang berat seperti itu, Akmal Ibrahim, teman saya seorang pernah menjadi wartawan handal ini mengambil alih kemudi. Dia begitu gesitnya. Debu mengepul-ngepul di pantat mobil yang kami naiki. Hanya membutuhkan waktu empat jam, dari Banda Aceh menuju Meulaboh.

Tiga jam berselang, kami sudah tiba. Di sebuah persimpangan, Akmal berhenti. Di situ ada sejumlah orang duduk-duduk. Begitu melihat Akmal, mereka semua berdiri. “Poh padum beurangkat dari Banda Aceh, Pak Bupati (jam berapa berangkat dari Banda Aceh?” tanya M. Nasir, salah seorang di antaranya. “Poh peuet (pukul empat).”

Tak berapa lama, sejumlah orang berdatangan ke sini. Mereka ngolor ngidul. Bahkan Nasir sering mencandai Akmal. Dan kami bubar pukul satu dini hari. Kami menuju ke Bukit Guhang, Kecamatan Blang Pidie. Di sebuah bukit ada sebuah rumah begitu asri. Bercat krem. Inilah rumahnya. “Saya tak menempati rumah dinas,” katanya. “Kita tidur di sini saja ya.”

Ya. Akmal sekerang sudah menjadi seorang Bupati. Sudah tiga tahun dia memimpin di Aceh Barat Daya ini. Dialah Bupati pertama yang dipilih oleh rakyat Blang Pidie, sebuah kabupaten baru pecahan dari Kabupaten Aceh Selatan.

Di sini saya mengikuti kesehariannya di luar “pekerjaannya” sebagai Bupati. Dia keluar masuk kampung dengan sepeda motor. Naik turun gunung berjalan kaki. Lutut saya goyah juga mengikutinya.

Terkadang membawa mobil jip 4WD ke jalanan berkubang di pegunungan. Ada mobil warga yang nyangkut dalam lumpur ditariknya. Tak ada kecanggungannya untuk menyingsingkan lengan baju untuk membersihkan saluran sawah bersama petani.

Di kebunnya, dia menyangkul dan bercocok tanam. Saya terkadang lucu juga melihat dia bertelanjang dada menggali lubang bersama sejumlah warga di lereng gunung. “Lagi ngapain Bang?” saya berteriak. “Mencari emas,” jawabnya.

“Abang kan Bupat?”
“Ya, saya juga petani yang sedang berburu emas.”

***

Saya jadi teringat ketika kami meliput masa-masa Aceh bergolak itu pada 1998. Waktu itu Akmal adalah Redaktur Pelaksana Harian Serambi Indonesia, saya sendiri seorang wartawan daerah untuk Majalah GATRA. Kami pilih liputan ke daerah yang paling rawan yaitu di Lhokseumawe, Aceh Utara.

Di kota gas itu kami menginap di sebuah hotel berbintang tiga. Suasana sangat mencekam, sering terjadi kontak senjata antara TNI dan GAM. Akibatnya kami tak gampang mendapatkan sumber berita, rata-rata menggeleng kepala memilih tutup mulut.

Kami memutar otak mencari jalan untuk liputan. Kami harus tahu peta rawan di Aceh Utara.

“Coba kamu cari pelacur, dan kita akan bertanya padanya. Barangkali dia banyak tahu,” kata Akmal.
“Ah, Abang bergurau. Jangan bercanda di tempat mencekam, Bang,” saya menimpalinya sambil tersenyum.
“Carilah segera. Nanti kita bayar. Bagus bagi dia dibayar tanpa perlu melayani lelaki hidung belang. Mudah-mudahan kita dapat menggali informasi,” wajah Akmal terlihat sangat serius.

Lalu, saya celangak-celinguk ke diskotek yang memutar musik berdentam-dentam, tak kalah seru dengan suara desingan peluru di luar hotel tempat kami menginap. Saya panggil satu perempuan berambut lurus. Menawarinya ke kamar tempat kami menginap. Dia mengangguk.

Ketika masuk, dia sempat terkejut. “Lho berdua?”
“Saya panggil teman saya ya?” dia berkata sambil hendak ngeloyor meninggalkan kamar kami.
“Oh, jangan,” Akmal melarangnya pergi.
“Kita hanya ngobrol saja, ada yang mau saya tanyakan, dan kami tetap membayar kamu ya.”

Akmal langsung merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa ratus ribu. “Terimakasih, apa yang hendak ditanya,” dia memulai pembicaraan. Sudah jamak bukan, jika kami mengawalinya dengan bertanya nama dan alamatnya. Lalu, pertanyaan klasik tentang nasibnya yang jatuh ke lembah hitam itu.

Ternyata dia putri seorang karyawan perusahaan multinasional di Aceh Utara. Jejak anak orang berada masih tergambar dari dandanannya dan tutur bahasanya yang teratur dan tak ada kata-kata kotor sebagaimana lazimnya di dunia pelacuran.

Dia telah ditinggal pergi oleh suaminya yang mata keranjang. Akhirnya dia mencari hiburan untuk menenangkan dirinya, belakangan dia mulai terlena dengan dunianya itu. Mula-mula hanya pesta-pesta dan mabuk-mabukan di diskotek. Untuk kebutuhannya yang perlu uang banyak itu, akhirnya dia menjual diri.

Ah, kami bukan hendak mencari cerita tentang suka duka seorang wanita malam. Jadi harus focus dengan tugas jurnalistik yang membuat kami ke Lhokseumawe ini. “Tentu saja banyak pengalaman yang dapat di petik dari petualanganmu,” saya bicara, berusaha mengalihkan cerita ke topik baru.

Akmal menambahkan, “kami salut juga, kamu bisa kenal sama pejabat-pejabat di sini. Kamu sebenarnya hebat.” Ini jelas saya tahu, Akmal sedikitt mengarang cerita. Tapi tebakannya itu tak sepenuhnya salah, bisa dilihat dari cara berpakaian perempuan ini yang cukup anggun, tidak norak. Tentulah bukan pakaian murah.

Berlagak tak memerlukan jawaban atas pertanyaannya, Akmal menawarkan makan dan minuman untuk dia. Dia mengangguk, menyebut sop buntut, dan segelas jus jeruk. Saya menelepon restoran, dan minta tiga porsi. Juga tiga bungkus rokok. Tak soal bagi saya untuk memesan, toh ada Akmal yang membayar semuanya.

“Lho, kok Abang tahu saya berhubungan dengan beberapa pejabat di sini.” Dia balik bertanya. Kami tertawa, berusaha menjadi sangat akrab.
“Ya pasti lah, kami kan sering melihat kamu. Jangan khawatir, kami orang yang pandai menjaga rahasia.”

Mulailah dia bicara ngolor ngidul tentang pengalamannya. Dia kemudian masuk ke ceritta hubungannya dengan seseorang yang tahu seluk beluk keamanan di Aceh Utara.

Bahkan perempuan ini tahu titik-titik rawan di Aceh dari orang itu. Dia bisa mengetahui pengepungan dan kapan perang terjadi. “Malam ini tak akan terjadi apa-apa, Bang. Mau taruhan.”

Kami menampik ajakannya. Malam sudah larut. Dia pamit. Akmal menambahkan uang tips sebagai terimakasih atas informasinya. Kami sudah memiliki banyak informasi untuk investigasi.

Yang kami sangat sadari, malam itu memang di Aceh Utara tak terjadi kontak senjata. Kami jadi percaya pada perempuan yang telah terjerumus ke lembah hitam itu.

Dari cerita dialah kami menelusuri berbagai cerita pertempuran di Aceh Utara. Kami juga sampai ke lokasi pengepungan Ahmad Kandang, tokoh GAM di Kandang, Aceh Utara. Di sini, kami penasaran sebab dia bisaa lolos dari kepungan dan hantaman bedil.

Agar dapat cerita basah, waktu itu kami bisa berusaha ditangkap GAM. Sebab kami tahu, GAM tak akan mencelakakan wartawan. Dan benar, sesampai kampung Kandang, kami dihadang pasukan GAM. Hasilnya, kami malah mendapat banyak cerita dari sini. Sayangnya kami tak sempat bertemu dengan Ahmad Kandang.

Begitulah sepenggal pengalaman meliput berita bersama Akmal. Di sini saya menimba ilmu darinya, tentang kecerdikannya yang penuh perhitungan.

***

Tiga tahun lalu, saat saya menjadi salah seorang wartawan di Majalah TEMPO, datang kabar menarik; Akmal menjadi bupati di Aceh Barat Daya. Soal dia terpilih sebagai bupati, itu tak mengherankan saya. Dia memang pintar bergaul dan supel. Di Blang Pidie dia adalah tokoh yang berpengaruh.

Namun, yang mengganjal dibenak saya, bagaimana seorang Akmal yang bebas merdeka sebagai seorang wartawan, kemudian hidup dalam sangkar kekuasaan. Dia yang dulunya kritis dan cerewet, bagaimana kini di saat dia harus memakmurkan rakyat di Blang Pidie.

“Mengurus rakyat itu tak rumit, mereka orang-orang yang baik, lugu dan satu tujuan, yaitu hidup damai dan makmur,” kata Akmal.
“Lalu apa yang paling merepotkan Abang?”
“Ya soal politik, penuh intrik. Dan juga dengki, kadang untuk tujuan kemakmuran rakya saja dihadang. Fitnah jalan terus.”

“Bukankah, politik memang begitu?’
“Iya, ternyata memang merepotkan, hehehehehe.”
“Lalu, bagaimana Abang menyiasatinya.”
“Kamu masih ingat ketika kita meliput berita di Aceh Utara?”

Saya tentu tak perlu menjawab pertanyaan Akmal. Saya tahu betul maksudnya, bahwa dia harus cerdik dan penuh perhitungan meniti persoalan politik di daerahnya itu. Dan targetnya yang harus dicapai, adalah memakmurkan rakyatnya.

Semoga saja kawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun