“Abang kan Bupat?”
“Ya, saya juga petani yang sedang berburu emas.”
***
Saya jadi teringat ketika kami meliput masa-masa Aceh bergolak itu pada 1998. Waktu itu Akmal adalah Redaktur Pelaksana Harian Serambi Indonesia, saya sendiri seorang wartawan daerah untuk Majalah GATRA. Kami pilih liputan ke daerah yang paling rawan yaitu di Lhokseumawe, Aceh Utara.
Di kota gas itu kami menginap di sebuah hotel berbintang tiga. Suasana sangat mencekam, sering terjadi kontak senjata antara TNI dan GAM. Akibatnya kami tak gampang mendapatkan sumber berita, rata-rata menggeleng kepala memilih tutup mulut.
Kami memutar otak mencari jalan untuk liputan. Kami harus tahu peta rawan di Aceh Utara.
“Coba kamu cari pelacur, dan kita akan bertanya padanya. Barangkali dia banyak tahu,” kata Akmal.
“Ah, Abang bergurau. Jangan bercanda di tempat mencekam, Bang,” saya menimpalinya sambil tersenyum.
“Carilah segera. Nanti kita bayar. Bagus bagi dia dibayar tanpa perlu melayani lelaki hidung belang. Mudah-mudahan kita dapat menggali informasi,” wajah Akmal terlihat sangat serius.
Lalu, saya celangak-celinguk ke diskotek yang memutar musik berdentam-dentam, tak kalah seru dengan suara desingan peluru di luar hotel tempat kami menginap. Saya panggil satu perempuan berambut lurus. Menawarinya ke kamar tempat kami menginap. Dia mengangguk.
Ketika masuk, dia sempat terkejut. “Lho berdua?”
“Saya panggil teman saya ya?” dia berkata sambil hendak ngeloyor meninggalkan kamar kami.
“Oh, jangan,” Akmal melarangnya pergi.
“Kita hanya ngobrol saja, ada yang mau saya tanyakan, dan kami tetap membayar kamu ya.”
Akmal langsung merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa ratus ribu. “Terimakasih, apa yang hendak ditanya,” dia memulai pembicaraan. Sudah jamak bukan, jika kami mengawalinya dengan bertanya nama dan alamatnya. Lalu, pertanyaan klasik tentang nasibnya yang jatuh ke lembah hitam itu.
Ternyata dia putri seorang karyawan perusahaan multinasional di Aceh Utara. Jejak anak orang berada masih tergambar dari dandanannya dan tutur bahasanya yang teratur dan tak ada kata-kata kotor sebagaimana lazimnya di dunia pelacuran.
Dia telah ditinggal pergi oleh suaminya yang mata keranjang. Akhirnya dia mencari hiburan untuk menenangkan dirinya, belakangan dia mulai terlena dengan dunianya itu. Mula-mula hanya pesta-pesta dan mabuk-mabukan di diskotek. Untuk kebutuhannya yang perlu uang banyak itu, akhirnya dia menjual diri.