Mengendarai Toyota Innova, kami bergerak dari Hotel Hermes, Lampineueng, Banda Aceh. Tujuannya Blang Pidie, Aceh Barat Daya. Disopiri Salamuddin dengan kecepatan 80-100 kilometer per jam, sebentar sudah ada di Leupeueng, Aceh Besar. Gunung Geurutee sudah di depan mata.
Hari itu, Sabtu akhir April lalu, cuaca sore terlihat cerah. Pemandangan indah masih terukir sepanjang pantai. Jalan di pegunungan yang berkelok-kelok, bersisian dengan hamparan biru laut hingga ke kaki langit. Masuk Lamno, hingga Calang masih terlihat sisa-sisa hantaman bencana tsunami enam tahun silam.
Jejak jembatan sudah bergeser ke laut, jalan-jalan raya ada yang lenyap. Kini untuk mencapai Meulaboh, Aceh Barat, saja harus melewati dua sungai tanpa jembatan, dibantu rakit. Daerah ini seperti terhempas ke masa silam, era sebelum tahun 80-an.
Banyak jalan baru yang belum jadi. Tapak ban mobil tergambar di jalanan merah tanah liat. Sejumlah bukit telah dibelah untuk jalan baru. Melewati jalan ini perlu usaha tersendiri. Apalagi terkadang harus melewati tepian pantai yang tak jelas apakah itu jalan apa bukan.
Di medan yang berat seperti itu, Akmal Ibrahim, teman saya seorang pernah menjadi wartawan handal ini mengambil alih kemudi. Dia begitu gesitnya. Debu mengepul-ngepul di pantat mobil yang kami naiki. Hanya membutuhkan waktu empat jam, dari Banda Aceh menuju Meulaboh.
Tiga jam berselang, kami sudah tiba. Di sebuah persimpangan, Akmal berhenti. Di situ ada sejumlah orang duduk-duduk. Begitu melihat Akmal, mereka semua berdiri. “Poh padum beurangkat dari Banda Aceh, Pak Bupati (jam berapa berangkat dari Banda Aceh?” tanya M. Nasir, salah seorang di antaranya. “Poh peuet (pukul empat).”
Tak berapa lama, sejumlah orang berdatangan ke sini. Mereka ngolor ngidul. Bahkan Nasir sering mencandai Akmal. Dan kami bubar pukul satu dini hari. Kami menuju ke Bukit Guhang, Kecamatan Blang Pidie. Di sebuah bukit ada sebuah rumah begitu asri. Bercat krem. Inilah rumahnya. “Saya tak menempati rumah dinas,” katanya. “Kita tidur di sini saja ya.”
Ya. Akmal sekerang sudah menjadi seorang Bupati. Sudah tiga tahun dia memimpin di Aceh Barat Daya ini. Dialah Bupati pertama yang dipilih oleh rakyat Blang Pidie, sebuah kabupaten baru pecahan dari Kabupaten Aceh Selatan.
Di sini saya mengikuti kesehariannya di luar “pekerjaannya” sebagai Bupati. Dia keluar masuk kampung dengan sepeda motor. Naik turun gunung berjalan kaki. Lutut saya goyah juga mengikutinya.
Terkadang membawa mobil jip 4WD ke jalanan berkubang di pegunungan. Ada mobil warga yang nyangkut dalam lumpur ditariknya. Tak ada kecanggungannya untuk menyingsingkan lengan baju untuk membersihkan saluran sawah bersama petani.
Di kebunnya, dia menyangkul dan bercocok tanam. Saya terkadang lucu juga melihat dia bertelanjang dada menggali lubang bersama sejumlah warga di lereng gunung. “Lagi ngapain Bang?” saya berteriak. “Mencari emas,” jawabnya.