Mohon tunggu...
Nurliah Awaliah
Nurliah Awaliah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Ilmu Komputer / QA Engineer

-

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Buy Now, Pay Later: Dampak pada Keuangan dan Kebudiluhuran

13 September 2024   09:26 Diperbarui: 13 September 2024   09:28 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Seiring dengan kemajuan teknologi yang tak terelakkan, kemudahan akses terhadap layanan keuangan seperti Buy Now Pay Later (BNPL) telah menjadi bagian penting dari pola konsumsi masyarakat modern.

Dengan menawarkan kenyamanan untuk "punya barang dulu, bayar belakangan," layanan ini sukses memikat banyak orang, terutama di tengah melonjaknya harga kebutuhan primer dan sekunder. Namun, dibalik kemudahan tersebut, terdapat risiko yang dapat merusak kestabilan finansial individu.

Masalah penggunaan BNPL tidak hanya muncul dari kebutuhan akan barang dan jasa dengan cepat, tetapi juga mencerminkan kekurangan dalam perencanaan keuangan yang baik.

Banyak individu terperangkap dalam kebiasaan berutang karena kurangnya perencanaan keuangan yang matang, baik untuk diri sendiri maupun keluarga. 

Bahkan, dengan pergeseran dari penggunaan kartu kredit ke BNPL, proses mendapatkan barang secara instan menjadi semakin menggoda, sering kali tanpa mempertimbangkan risiko yang menyertainya.

Artikel ini bertujuan untuk mengungkap sisi gelap dari kebiasaan menggunakan BNPL yang semakin lazim di masyarakat. Melalui pembahasan ini, diharapkan pembaca dapat memahami bahaya dari ketergantungan pada layanan tersebut dan menemukan solusi untuk menghindari atau keluar dari jerat utang yang dapat mengancam masa depan mereka.

Kemudahan akses terhadap layanan Buy Now Pay Later (BNPL) telah mengubah perilaku konsumsi masyarakat secara signifikan. Dengan harga kebutuhan primer dan sekunder yang terus meningkat, banyak orang merasa terdorong untuk menggunakan layanan ini demi memenuhi kebutuhan mendesak.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa harga bahan pokok meningkat rata-rata 5-10% per tahun, sementara biaya layanan digital seperti internet dan hiburan juga terus naik.

Kondisi ini mendorong individu untuk mengambil langkah instan seperti BNPL tanpa mempertimbangkan risiko jangka panjang, yang pada akhirnya dapat menggerus kebudiluhuran dalam pengelolaan keuangan pribadi.

Gaya hidup konsumtif semakin memperparah situasi ini, di mana keinginan untuk memiliki barang-barang mewah seperti ponsel terbaru atau gadget canggih kerap kali mengesampingkan perencanaan keuangan yang matang.

Survei oleh Nielsen menunjukkan bahwa 65% masyarakat perkotaan di Indonesia cenderung membeli barang mewah melalui cicilan, termasuk BNPL. Kebiasaan ini bertentangan dengan nilai-nilai kebudiluhuran yang menekankan kesederhanaan, menabung, dan hidup dalam batas kemampuan.

Kurangnya kontrol terhadap keinginan dapat membawa seseorang ke dalam lingkaran utang yang sulit diatasi, mengorbankan prinsip hidup sederhana dan bertanggung jawab.

Rendahnya literasi keuangan di Indonesia menjadi salah satu faktor utama yang memperbesar resiko ini. Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hanya 38% masyarakat yang memiliki pemahaman dasar tentang keuangan.

Rendahnya kesadaran ini membuat banyak individu tidak menyadari bahaya tersembunyi di balik kemudahan BNPL, seperti bunga tinggi dan biaya layanan yang membebani.

Kebudiluhuran menuntut kita untuk bijak dan bertanggung jawab dalam setiap keputusan finansial, namun rendahnya literasi keuangan membuat banyak orang terjebak dalam utang yang sulit dilunasi.

Pergeseran dari kartu kredit ke BNPL juga menggambarkan perubahan preferensi masyarakat yang lebih mengutamakan kecepatan dan kemudahan dibandingkan dengan prinsip kehati-hatian.

Studi oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa penggunaan kartu kredit menurun sebesar 20% dalam lima tahun terakhir, sementara penggunaan BNPL meningkat pesat.

Hal ini menunjukkan bagaimana masyarakat semakin mengabaikan prinsip kebudiluhuran yang menekankan kehati-hatian dan tanggung jawab dalam berutang. Keinginan untuk segera memiliki barang tanpa melalui proses verifikasi yang panjang dapat mengorbankan stabilitas finansial dan integritas pribadi.

Ketergantungan yang berlebihan pada layanan BNPL bisa berujung pada masalah keuangan yang serius, bahkan hingga kebangkrutan. Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa kasus gagal bayar terkait BNPL meningkat 15% setiap tahun.

Ketergantungan ini bukan hanya merugikan secara finansial, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip etika dan moral yang mengajarkan kita untuk hidup dalam batas kemampuan dan tidak berlebihan dalam berutang. Ketergantungan pada utang juga bisa merusak integritas dan tanggung jawab kita sebagai individu yang harus menjaga keseimbangan dalam kehidupan.

Cara kerja BNPL yang menarik namun penuh resiko sering kali tidak disadari oleh banyak pengguna. Dengan tenor pengembalian yang singkat dan bunga yang tinggi, serta adanya biaya layanan tambahan, pengguna BNPL bisa terjebak dalam utang yang sulit dilunasi.

Berdasarkan laporan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), rata-rata bunga yang dikenakan oleh layanan BNPL bisa mencapai 2-3% per bulan.

Kebudiluhuran menuntut kita untuk selalu waspada dan bijak dalam setiap tindakan, namun banyak yang mengabaikan prinsip ini demi kenyamanan sesaat yang ditawarkan BNPL.

Untuk menjaga keseimbangan hidup dan tetap berpegang pada nilai-nilai kebudiluhuran, penting bagi kita untuk menabung dan bijak dalam menggunakan teknologi. 

Menyisihkan pendapatan untuk tabungan dan kebutuhan darurat, serta menghindari godaan belanja impulsif, adalah langkah yang tepat untuk menjaga kesehatan finansial.

Financial planners menyarankan agar setiap individu menyisihkan minimal 20% dari pendapatan bulanan untuk tabungan.

Dengan demikian, kita dapat hidup sesuai dengan prinsip kebudiluhuran yang mengajarkan kesederhanaan, tanggung jawab, dan hidup dalam batas kemampuan, serta menghindari jebakan utang yang dapat merusak masa depan kita.

Dalam menghadapi berbagai tantangan ekonomi, mulai dari lonjakan harga kebutuhan hingga gaya hidup konsumtif, penggunaan layanan BNPL memang tampak sebagai solusi instan yang menggiurkan.

Namun, dibalik kemudahan tersebut tersembunyi risiko keuangan yang serius, yang dapat mengancam kestabilan finansial dan bertentangan dengan prinsip-prinsip kebudiluhuran yang mengajarkan kesederhanaan, tanggung jawab, dan kehati-hatian dalam berutang.

Rendahnya literasi keuangan dan pergeseran preferensi masyarakat dari kartu kredit ke BNPL hanya memperparah situasi ini, membuat banyak orang terjebak dalam utang yang sulit dilunasi.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk kembali pada nilai-nilai kebudiluhuran yang menekankan pada hidup dalam batas kemampuan dan bertanggung jawab atas setiap keputusan finansial.

Menabung sebelum membeli sesuatu dan bijak dalam menggunakan teknologi adalah langkah-langkah yang dapat membantu kita menghindari ketergantungan pada BNPL dan menjaga keseimbangan finansial.

Dengan demikian, kita dapat membangun kehidupan yang lebih stabil dan bahagia, terbebas dari jerat utang, dan tetap setia pada prinsip-prinsip moral dan etika yang telah diajarkan sejak dini.

Jika ketergantungan pada BNPL sudah terlanjur parah, sebaiknya segera mencari bantuan tenaga ahli, baik dari psikolog maupun financial planner, untuk membantu mengelola keuangan dan mengatasi kecanduan tersebut.

Dengan memahami risiko dan berpegang pada nilai-nilai kebudiluhuran, kita dapat mengambil langkah-langkah yang lebih bijak dalam mengelola keuangan, sehingga dapat mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan jangka panjang.

Jangan biarkan kebiasaan yang tampak menyenangkan di awal berubah menjadi bumerang yang merusak masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun