Akhir-akhir ini, aku baru sadar kalau ternyata aku sudah kehilangan diri sendiri. Berusaha untuk terus menyenangkan banyak orang membuatku hilang arah. Ada kalanya aku tidak bisa mengenali diri sendiri. Terkadang, perdebatan batin memang kerap tak terkendali karena hal ini. Bahkan, aku sempat berada pada titik lelah yang tidak mampu sekadar untuk menopang badan. Rasanya lemas. Ada beragam kegiatan yang menyebabkan energi seakan-akan terkuras.
"Kamu marah ketika ada yang bilang bahwa kamu dikatakan 'khusus momong anak saja'. Padahal, kamu tidak se-nganggur itu. Kamu sudah melakukan banyak hal. Kamu menulis, belajar online untuk upgrade diri, mendampingi anak bertumbuh, memasak, berkebun, dan lain-lain. Betul?"Â
Saat satu sisi hati bertanya demikian, aku mengiakan. Sebab, memang kenyataannya seperti itu. Aku sering menyibukkan diri pada banyak hal untuk menyangkal tuduhan itu. Aku ingin membuktikan pada banyak orang bahwa aku sudah berlaku produktif. Omongan yang dilontarkan padaku, yang menganggap aku hanya bermalas-malasan, tidaklah benar.
Namun, yang tidak kusadari, aku hanya sedang sibuk tetapi tidak produktif. Sebab, aku melakukannya untuk sebatas pembuktian. Sebenarnya, aktivitas itu memang bukan diperuntukkan untuk memahami kemauan diri. Selain itu, tidak sesuai tujuan karena niat awalku juga sudah salah. Seharusnya, setiap melakukan sesuatu bukan ditujukan untuk pembelaan. Iya, kan?
Aku menghela napas kasar, merasakan dada yang begitu sesak karena masih banyak pertanyaan yang berhimpitan dalam pikiran.
"Kamu juga tidak terima ketika ada yang bilang kalau kamu tidak punya inisiatif. Saat itu, kamu merasa bahwa fokusmu memang terbelah. Ada satu agenda penting yang tidak bisa dianggap remeh sehingga kamu tidak bisa fokus pada hal lain. Kamu kesal karena kamu direndahkan. Padahal, kamu sedang bertaruh pada satu mimpi yang ingin kamu gapai kalau saja tidak ada kerikil tajam yang menjadi sandungan. Apa aku benar?"Â
Memang benar. Aku kerap hilang fokus ketika ingin meraih satu tujuan yang kuanggap penting. Hanya saja, orang lain tidak paham itu. Akan tetapi, aku juga salah dalam bersikap. Reaksiku sepatutnya tidak berlebihan ketika ada keadaan yang tidak sesuai keinginan. Apa lagi, faktor penyebabnya dari bagian eksternal. Aku tidak harus terlalu larut dalam drama. Terlampau meromantisasi kekecewaan yang menimpa. Toh, validasi dari orang lain tidak masuk hitungan asalkan hal yang dilakukan sudah di jalan yang benar dan juga tidak merugikan semua orang.
Orang bijak pernah berkata kalau manusia hanya perlu fokus pada apa yang bisa dikendalikan, yang diluar jangkauan sebaiknya tak perlu dirisaukan.
Di dalam buku The Joy of Missing Out yang ditulis Tanya Dalton, aku menemukan bahwa manusia tidak bisa membagi beberapa fokus dengan porsi yang sama. Itu wajar, kok. Sehingga, aku harus mengubah pola pikirku sendiri bahwa aku tidak gagal hanya karena tidak bisa melakukan banyak hal dengan takaran yang seragam.
Sekarang, sudah saatnya untuk memerdekakan diri sendiri agar tidak melulu bergantung pada penilaian orang lain. Sungguh, bukannya mau meninggikan ego, tetapi demi kewarasan diri boleh juga berlaku bodo amat, kan?
Beberapa waktu yang lalu, aku pernah membaca kata-kata di media sosial, yang sayangnya aku lupa siapa penuturnya. Katanya kurang lebih seperti ini, "Saat ini aku sudah kehabisan energi untuk berdebat. Kalau ada yang bilang kalau aku baik, ya udah iya. Kalau ada yang bilang aku jahat, ya udah iya."
Kali ini, aku sedang berada pada tahap itu, yang sama sekali tidak ada tenaga untuk meladeni perlakuan tak mengenakkan dari orang lain. Kalau dulu, aku masih sempat mengkonfirmasi atau basa-basi menjelaskan tentang kebenaran yang aku yakini. Namun, kini, dayaku melemah jika itu menyangkut dari omongan orang. Nilai positifnya, aku lebih tidak peduli pandangan buruk orang lain pada diriku. Mau dibilang seperti apa saja, terima saja. Sebab, mau diluruskan model apa pun tidak akan ada gunanya untuk para pembenci.
Maka dari itu, lebih baik cuek saja, bukan?
Dalam buku yang sama, yang sedikit dijelaskan di atas, aku suka sekali keseluruhan pemaparannya. Halaman per halaman begitu memikat. Secara tidak langsung, aku diarahkan untuk menemukan diri sendiri dan juga memahami prioritas; mana yang perlu dan tidak perlu dilakukan. Ada pula hal lain yang bisa membuat pola pikir berkembang melalui bukunya Tanya Dalton tersebut. Benar-benar sesuai dengan sub judulnya yaitu Seni Menjalani Hidup tanpa Rasa Panik karena tertera juga pentingnya mengatur waktu.
The Joy of Missing Out adalah sebuah buku yang sangat cocok untuk seseorang yang sedang berjuang menghadapi kecemasan agar lebih tertata dalam menjalani hari-hari. Paham runutan yang harus dilakukan dan yang kudu ditinggalkan.
Sungguh, aku tidak keberatan untuk membacanya berulang-ulang karena efek positif dapat kurasakan. Mau ikut berpetualang menemukan diri sendiri seperti aku juga nggak, nih?
Caranya, read this amazing book and find the best version of you, Guys!Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI