"Apa?" Sontak kau terkejut.
Entah apa yang merasukiku, hingga aku memberanikan diri bercerita semacam ini.Â
"Tahu gak? Kemarin aku sempat ada pikiran mau mengambil pisau di dapur untuk memuaskan otak jahatku ini," ujarku. "Sepertinya ... menggoreskan sebilah pisau yang tajam menarik juga. Aku jadi pengin nyoba." Aku melanjutkan kalimatku tanpa beban, seolah-olah tidak ada hal berat yang mengganggu pikiran.
Memang benar adanya bahwa kala itu aku sedang kalut. Tak pernah terbayang sebelumnya ketika jiwa ini memaksa untuk menyakiti diri sendiri. Membayangkan aliran merah mengalir dari tubuhku saja membuatku bahagia. Mungkin inilah jalannya.
"Kenapa, Sayang?" Nada bicaranya mulai pelan. Dia mencoba mencerna segenap ceritaku.Â
"Depresi akut," jawabku singkat, sembari tertawa penuh makna yang membuat kekasih hatiku itu cemas.
Akhir-akhir ini emosiku sering tak terkendali. Aku takut kalau sampai tanganku juga ikut aktif. Dalam hati, aku memiliki keinginan-keinginan ekstrim yang kalau dilakukan bakal aku sesali. Misalnya, menjambak rambutku kuat-kuat atau membenturkan kepalaku di tembok.
Kira-kira ... sakit apa nggak, ya? Pikiranku kian kacau. Pengendalian diriku juga tak kalah semrawut. Aku takut kalau sampai kehilangan kontrol saat sisi sentimen dalam diri membumbung tinggi.
Sebagai seorang ibu rumah tangga dengan seorang balita yang mulai bergerak sesuka hati, memang dituntut untuk pandai membawa diri, juga mampu mengendalikan emosi. Sebab, salah pengasuhan akan menyebabkan luka. Hal itu yang sangat ditakuti.
Bagaimana bisa aku mendidik anak dengan benar kalau aku masih belum selesai dengan diri sendiri? Aku membatin. Kemelut di hati makin menumpuk. Sehingga, tanpa disadari, perasaan rendah diri serta kemauan untuk menyakiti diri makin menguat.
"Nanti belajar bareng, ya, Sayang. Banyak referensi yang harus kita pelajari bersama tentang hal ini. Perkara kesehatan mental ini berat. Kita nggak boleh gegabah mengambil kesimpulan. Selain itu, tidak dibenarkan juga untuk melakukan diagnosis mandiri. Sementara ini, kalau ada yang mengganjal, cerita sama aku, ya! Aku di sini, berusaha untuk jadi pendengar yang baik. Kamu boleh cerita apa pun, Sayang. Nggak boleh ada yang ditutup-tutupi lagi. Oke?" ucapnya cukup menenangkan.
Cukup saja, ya. Masih ada ruang kosong yang perlu diisi, agar isi kepala kembali bersih, tidak ada niat sedikit pun untuk self-harm seperti yang selama ini kerap dilakukan.
"Oke," kataku tanpa membantah. Meski pun, dalam hati ingin sekali marah karena merasa tidak ada solusi yang diulurkan.Â
Sebenarnya, ingin kuungkap segala alasannya perihal egoku yang meluap. Ingin sekali rasanya menghidupkan 'Jiwa Joker' dalam diri, yang ketika disakiti begitu dalam akan balas dendam dengan teramat kejam. Akan tetapi, segera kuurungkan niatku itu.
Berbuat baik dengan orang yang telah berlaku buruk pada kita adalah sebuah kebaikan dan dendam hanya akan mengotori hati dan pikiran, bukan?
Sebab, dalam agama yang kuanut, jika kita diperlakukan dengan kurang baik, maka balasan terbaik dari kita adalah dengan cara membiarkan, kalau tidak mempan, ya, sembari mendoakan. Maka, hal baik akan kembali pada diri kita entah dalam bentuk apa nantinya.
Setelah berpikir demikian, dengan segenap jiwa, kupasrah. Aku berharap bahwa orang-orang yang telah mengusikku tanpa arah, biar secepatnya berubah. Agar tidak ada jiwa-jiwa baru yang akan terluka lebih parah.
Cukup aku saja yang mentalnya hancur. Sebab mendengarkan kabar miring yang tak berujung.
Cukup aku saja yang tak beruntung; yang diperbincangkan di luar fakta tanpa tabayyun.
Kali ini, fokusku kembali pada diri pribadi. Melunakkan hati yang sempat memanas. Meredam duka yang jika ditangisi saja sungguh tak pantas.
Teruntuk aku ...
Segera bangkit!
Perbaiki mental yang hampir rapuh.
Perbaiki iman yang nyaris runtuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H