Itu bapak Budi. Dia seorang mantan kepala desa. Auranya yang tegas dan kharismatik membuatnya disegani. Pada masa beliau menjabat, gaya kepemimpinannya membuat masyarakat kagum. Semua orang yang mengenalnya, begitu bangga. Tak terkecuali Budi---anaknya, yang nanti digadang-gadang menggantikan beliau menjadi kepala desa yang baru.Â
"Bagaimana persiapan pemilihan nanti, Le?" tanya bapak mantan kades tersebut.
"Sudah hampir seratus persen aman, Pak. Akan tetapi---" Budi ragu ingin melanjutkan.Â
Tanpa mendengar penjelasan mendalam, sang bapak pun paham, dilihat dari gelagat Budi yang seperti menanggung beban yang besar. "Perkara hati, to?"Â
Ditebak oleh bapaknya begitu, Budi sangat malu. Lalu, dengan berat hati ia bercerita bahwa niat tulusnya mengajak menikah si bunga desa gagal. Bujuk rayunya sudah ia kerahkan, tapi Ani---gadis yang dipuja itu, menolaknya.
"Ya, sudah. Besok malam kita ke rumahnya. Serahkan semuanya pada Bapak."Â
Budi mengangguk, menyetujui rencana bapaknya.Â
Besoknya, Budi meluncur ke kediaman Ani bersama sang bapak. Raut mukanya harap-harap cemas. Ia takut kalau ada penolakan lagi. Padahal, pemilihan kepala desa sebentar lagi digelar. Ia takut kalau sampai ada yang bertanya, "Bu Kades-nya mana, Pak?"Â
Budi bergidik ngeri membayangkan ledekan semacam itu terjadi jika sampai ia belum juga mendapatkan pasangan hingga ia resmi menjadi kades. Sebenarnya, bukan hanya itu yang menjadi alasan ia ingin menjadikan Ani sebagai istri. Budi merasa kalau Ani adalah paket komplit yang akan mampu melengkapi perjalanannya kelak. Ia percaya bahwa Ani merupakan sosok yang layak untuk mendampinginya.
"Kamu beneran sudah yakin, Le?" tanya sang mantan kades dengan penuh selidik ketika tanpa sengaja melihat anaknya yang tampak gelisah sedari sebelum berangkat tadi. "Kalau masih ragu, mending putar balik saja sebelum terlambat," lanjutnya kemudian.