Mohon tunggu...
Lateefa Noor
Lateefa Noor Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis amatir yang selalu haus ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebaris Trauma

30 Agustus 2023   18:52 Diperbarui: 30 Agustus 2023   18:58 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://pixabay.com/

Sepasang mata itu menatap nanar pada gemerlap lampu di jalanan. Pikirannya kosong. Seakan-akan, ada beban yang teramat berat yang memenuhi pikiran.

"Nania, kok, ngelamun?" tanya Haris---sang suami, yang baru saja dari toilet dan kini duduk di sebelah perempuan itu.

Nania hanya menggeleng lemah dan menjawab singkat, "Ngantuk." 

Haris memilih diam sembari berbincang sejenak dengan sopir travel yang akan membawanya ke kampung halaman istrinya. Meski penasaran, Haris tak lantas menyalurkan banyak tanya pada Nania. Sebab, ia paham kalau sedang seperti itu, tandanya, Nania sedang tidak ingin diganggu.

Di lain sisi, mata Nania mendadak panas, seperti ada lava yang akan segera tumpah pada dua bola mata sendunya itu. Nania teringat beberapa tahun yang lalu, kala ia sedang di perjalanan pulang seperti saat ini.

Kala itu, belum sempat mobil membawanya menjauh dari tempat tinggalnya, perasaan tak enak menggerogoti, di hape suaminya terdapat satu pesan dari salah seorang anggota keluarga yang menanyakan perihal kepulangannya. Padahal, jelas-jelas sampai di tempat tujuan juga belum. Nania merasa seakan-akan tidak diperkenankan untuk pulang.

"Baru tiga bulan lalu juga pulang, to? Lagian saat ini keluarga pada ngumpul di rumah, nanti nggak bisa ketemu lagi kalau telat balik ke sininya. Biasanya, kan, suka molor. Mbok, ya, hargai yang di sini."

Kata-kata itu dan sepenggal kalimat serupa terus terbayang di benak Nania. Sampai suatu ketika Nania tidak berani mengutarakan keinginannya untuk pulang ke tanah kelahirannya saat neneknya berpulang.

Sungguh, sebaris trauma itu masih ada. Takut dibilang bentar-bentar pulang. Takut terus-terusan dikatakan menghabiskan uang suami lagi karena dipakai untuk ke sana-sini. Padahal--- Ah, Nania tak siap melanjutkan cerita. Kini, ia lebih suka memendam semuanya sendirian, karena terlampau lelah disalahpahami.

"Ikuti alurnya sajalah." Nania pun pasrah. Menjelaskan pun percuma, tidak akan ada yang memahami perasaannya.

Selain itu, Nania juga tidak mungkin bercerita ke sembarang orang. Sebab, penafsiran orang terkadang kerap keliru. Seseorang bilangnya pisang, bisa saja bertransformasi menjadi kolak atau keripik sekalian. Ngeri, kan? 

Maka dari itu, Nania memilih untuk berfokus pada diri sendiri agar sesegera mungkin bisa berdamai dari sebaris trauma yang kian menyiksa.

"Kalau ada uneg-uneg yang mau dikeluarkan aja, ya, Sayang! Mas siap nyimak." Haris berkata dengan lembut seraya menggenggam tangan Nania penuh cinta. Jujur, ia hatinya benar-benar tidak karuan ketika melihat sang istri hanya diam. Seolah-olah, ada beban pikiran menggunung yang sedang ditanggung.

"Santai, Mas!" Nania merespons dengan nada santai. Untuk satu hal tentang ini, ia sedikit berbohong. Nania tidak berani berkata jujur karena takut kalau malah membuat keadaan kian semrawut di keluarga besar sang suami nantinya.

Haris menghela napas sejenak. Ia menatap lurus ke depan sambil sesekali menimpali sang sopir travel yang tengah bercerita seru mengenai bermacam-macam topik.

Nania melirik sang suami sekilas. Ia mengerti kekhawatiran sang suami begitu kuat. Akan tetapi, ia juga tidak bisa berbuat banyak. Bagi Nania, menyimpan segenap keresahan itu adalah keputusan yang terbaik.

Nanti, ya, Mas. Aku bakal cerita pelan-pelan. Kalau aku udah siap. Kalau waktunya sudah tepat. Untuk sekarang, biarkan begini saja, ya! Nania membatin.

"Maaf." Nania berucap lirih.

Haris terdiam sesaat. Lalu, ia menimpali, "Kamu nggak salah. Wajar, kok, kalau kamu belum merasa nyaman untuk berbagi keluh kesah. Kita masih banyak waktu untuk memperbaiki komunikasi. Maafin Mas kalau hingga detik ini masih belum mampu membuatmu aman."

Nania tergugu. Ia tidak menyangka kalau Haris akan memaparkan kalimat menusuk kalbu seperti itu. 

Selama ini, yang paling kurang dari relasi antara Nania dan Haris memang perihal Komunikasi. Keduanya masih terus belajar untuk mengurangi kesalahpahaman yang kerap terjadi pada awal-awal pernikahan.

"Ternyata, menikah itu nggak mudah, ya, Mas," ungkap Nania yang dibalas anggukan oleh Haris.

"Penting kita berdua sama-sama berjuang. Nggak mudah menyerah dan juga nggak begitu saja mengajak pisah tiap kali ada masalah."

Tangis Nania pecah. Rasa bersalah secepat itu singgah. Sebab, tak jarang ia ingin berpisah saat perlakuan keluarga suaminya membuat emosi Nania tumpah. Terkadang, ia mau mengakhiri pernikahan yang ia jalani saat itu juga. Ia berpikir, mumpung langkahnya belum terlampau jauh. Namun, Nania dengan segera mencegah. Menurutnya, selama konflik itu bukan berasal dari dirinya dan sang suami, hal-hal lain masih bisa diajak kompromi.

"Banyak diantaranya pemicu perpisahan bukan dari orang ketiga dalam arti sesungguhnya. Akan tetapi, orang ketiga yang dimaksud adalah orang-orang yang ikut campur dalam urusan rumah tangga kita, padahal itu sudah melebihi batas teritorial mereka."

Nania pernah membaca sederet kalimat itu. Seketika, bibirnya kelu. Sebab, ia merasa kalau dirinya kini sedang mengalami kondisi semacam itu. 

"Memang benar kalau mengomentari hidup orang lain itu lebih gampang. Makanya, banyak orang yang ingin mengambil peran. Tapi, kita jangan ikut-ikutan. Lebih baik menyingkir dari pada ketularan penyakit mengenaskan kayak gitu, yang nggak pernah suka melihat sesamanya bahagia."

Nasihat itu menggema di kepala Nania. Sebuah pengingat yang akan selalu tersemat.

Aku kudu kuat, pikir Nania.

Saat ini, Nania bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih tangguh agar tidak gampang terpengaruh. Apa lagi, dengan omongan-omongan yang akan menyebabkan ricuh. Ia ingin merangkul rasa trauma yang berkeliaran dalam dadanya. Setelah itu, ia akan menceritakan pada suaminya permasalahan yang selama ini dipendam. Kemudian, ia akan berdiskusi mengenai solusi terbaik untuk menghadapi kegelisahannya tersebut.

Nania percaya bahwa sebaris trauma akan dapat ditaklukkan dengan benar. 

Semoga, ya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun