"Ternyata, menikah itu nggak mudah, ya, Mas," ungkap Nania yang dibalas anggukan oleh Haris.
"Penting kita berdua sama-sama berjuang. Nggak mudah menyerah dan juga nggak begitu saja mengajak pisah tiap kali ada masalah."
Tangis Nania pecah. Rasa bersalah secepat itu singgah. Sebab, tak jarang ia ingin berpisah saat perlakuan keluarga suaminya membuat emosi Nania tumpah. Terkadang, ia mau mengakhiri pernikahan yang ia jalani saat itu juga. Ia berpikir, mumpung langkahnya belum terlampau jauh. Namun, Nania dengan segera mencegah. Menurutnya, selama konflik itu bukan berasal dari dirinya dan sang suami, hal-hal lain masih bisa diajak kompromi.
"Banyak diantaranya pemicu perpisahan bukan dari orang ketiga dalam arti sesungguhnya. Akan tetapi, orang ketiga yang dimaksud adalah orang-orang yang ikut campur dalam urusan rumah tangga kita, padahal itu sudah melebihi batas teritorial mereka."
Nania pernah membaca sederet kalimat itu. Seketika, bibirnya kelu. Sebab, ia merasa kalau dirinya kini sedang mengalami kondisi semacam itu.Â
"Memang benar kalau mengomentari hidup orang lain itu lebih gampang. Makanya, banyak orang yang ingin mengambil peran. Tapi, kita jangan ikut-ikutan. Lebih baik menyingkir dari pada ketularan penyakit mengenaskan kayak gitu, yang nggak pernah suka melihat sesamanya bahagia."
Nasihat itu menggema di kepala Nania. Sebuah pengingat yang akan selalu tersemat.
Aku kudu kuat, pikir Nania.
Saat ini, Nania bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih tangguh agar tidak gampang terpengaruh. Apa lagi, dengan omongan-omongan yang akan menyebabkan ricuh. Ia ingin merangkul rasa trauma yang berkeliaran dalam dadanya. Setelah itu, ia akan menceritakan pada suaminya permasalahan yang selama ini dipendam. Kemudian, ia akan berdiskusi mengenai solusi terbaik untuk menghadapi kegelisahannya tersebut.
Nania percaya bahwa sebaris trauma akan dapat ditaklukkan dengan benar.Â
Semoga, ya!