Di sampingku, seorang anak kecil masih tertidur dengan lelapnya. Kupandangi wajah polosnya, hingga tak kuasa bulir bening mengambang di mata.Â
Rasa bersalah pada bocah kecil itu selalu terbayang di benak, kala kuingat kejadian menyesakkan sekitar lima tahun silam.
 Aku adalah ibu yang tidak sempurna.
Suara bising itu selalu berlari-lari di kepala. Ada sesak bergelayut manja di dada. Ada resah yang membayangi sukma.
Bukan tanpa alasan aku merasa tidak mampu menjadi seorang ibu seutuhnya. Sebab, pengalaman pertama menjadi seorang ibu penuh kendala.Â
Ya, aku mengalami tantangan itu. Alumni Caesarian sekaligus air susunya tergolong seret.
Air Susu Ibu (ASI) adalah nutrisi penting bagi anak. Apalagi jika bisa memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan penuh tanpa adanya asupan pendamping lainnya. Bagi seorang ibu, itu sudah menjadi kebanggaan tersendiri.Â
Namun, itu tidak berlaku bagiku. Aku gagal mempersembahkan gizi terbaik untuk anakku. ASI-ku mampet, tidak lancar seperti yang dialami para ibu baru kebanyakan. Hanya dengan memikirkan itu, rongga dada terasa akan pecah. Tangisku tak tertahan. Aku kalut.Â
Ditambah dengan omongan-omongan pedas segelintir orang.
"Kalau orang zaman dulu, begitu anak lahir, ASI langsung deras."