Aku percaya bahwa suamiku bukan bermaksud seperti itu. Ia hanya ingin meyakinkan bahwa tak ada ASI pun tak apa, masih ada cara lain untuk memenuhi asupan anaknya. Tidak perlu terlalu menuntut. Sebab, hal itu malah akan menyakiti diri sendiri saja.Â
Setelah emosiku berangsur padam, suamiku perlahan mendekat. Ia mendekap diriku dengan erat, sembari merapalkan berkali-kali maaf jika tanpa sengaja kata-kata yang diucap melukai. Kutatap raut mukanya sekilas, rasa bersalah terlihat dari gurat lelahnya. Setelah itu, aku bersikap lebih tenang selepas meyakini perlakuan sang suami yang tampak tulus. Kulihat binar matanya begitu redup, kuyakin ia juga merasakan sakit yang mendera. Kesakitan yang serupa.Â
Oleh karena itu, aku pun luluh. Ungkapan maaf juga terlontar dari bibirku. Sebab, ia memang tidak bersalah. Perubahan mood-ku saja yang membuat segenap sikapku tak terarah.Â
Tiga bulan setelah kejadian itu, aku menyerah.
Kugantungkan sepenuhnya pada susu formula sebagai penyambung nutrisi anakku. Aku berpikir bahwa Tuhan itu sebaik-baik perencana. Jika selama ini usahaku tak membuahkan hasil yang nyata, mungkin Dia sudah menyiapkan rencana indah yang tidak pernah kukira.
"Tugas seorang ibu bukan sekadar mencukupi kebutuhan dengan ASI. Namun, melimpahkan ribuan kasih sayang itu sudah pantas menjadi bukti."
Terdengar subjektif, tetapi perkataan itu selalu mampu menguatkan.
Dengan doa yang terus melangit, kata-kata itu terbukti. Bayi kecilku tumbuh dengan baik. Bahkan, imunnya juga mengagumkan. Jika teman sebayanya, begitu terkena air hujan langsung terserang flu, ia sebaliknya. Hujan adalah teman bermain yang sangat ditunggu-tunggu kedatangannya.Â
Dengan demikian, ada satu kunci yang harus selalu diupayakan, yakni kedekatan pada Tuhan. Penerimaan yang utuh serta tak hentinya menggedor pintu langit, akan mampu merobohkan stigma buruk yang selalu membayang.Â
Kekuatan doa memang sangat luar biasa.