Mohon tunggu...
Lateefa Noor
Lateefa Noor Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis amatir yang selalu haus ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pinjami Aku Hatimu, Pak, Mak!

16 Agustus 2023   08:22 Diperbarui: 16 Agustus 2023   08:24 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini tak banyak aktivitas yang kulakukan. Selain rutinitas menyiapkan hidangan untuk keluarga dan berbagai keperluan untuk anak tercinta. Cuaca di luar begitu cerah. Aku sungguh menikmati semilir angin yang menerpa. Terkadang, ada rasa bosan yang hinggap ketika diri hanya mematung di dalam rumah saja.

"Sekali-kali nimbrung sama mereka boleh juga, nih. Mumpung sudah beres semua pekerjaan rumah," ujarku ketika melihat segerombolan ibu-ibu yang sedang bercengkerama di depan rumah salah satu tetanggaku. 

Kugendong anakku dengan selendang berwarna maroon kesayanganku. Kuhampiri ibu-ibu yang tampak serius di dekat pintu. Namun, belum sempat aku duduk dengan sempurna, ada seorang ibu berkacamata kuda memberikan celetukan khasnya. Pedas. Sepedas cabe satu kilo.

"Sayang, ya ... udah sekolah tinggi, biaya selangit, tetap saja hidupnya berkutat di dapur," ucap ibu itu dengan nada sinisnya.

Lambemu, Bu! 

Kalkulasi macam apa ini? Kalau anak sarjana berurusan dengan dapur segitu hinanya, kah? Nyatanya, bagi seorang istri yang sekaligus menjadi seorang ibu, menyajikan menu terbaik adalah suatu kebanggaan. Agar selera makan suami dan anak tergugah jika di rumah. Kalau bagiku, harapannya, agar ketika ada jarak nantinya, masakan rumah akan menjadi sajian utama yang paling dirindukan.

Memang benar adanya bahwa menurut segelintir manusia, pandangan terhadap orang yang sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga dengan label sarjana adalah aib. Aku heran. Padahal, itu semua tentang prinsip hidup yang diambil. Apalagi jika ada alasan pasti yang turut menyertai. Lagi pula, tidak masuk kategori dosa besar, kan? Jadi, seharusnya tidak perlu diperdebatkan.

Begitulah makhluk Tuhan yang bernama insan. Ada saja yang mereka jadikan topik utama sebagai bahan pergunjingan. Otakku belum saja mencerna dengan sempurna perihal pernyataan menyesakkan sebelumnya, ada lagi ini celetukan lain yang tidak kalah dahsyat. Kali ini dari seorang ibu muda berambut pirang yang berada tepat di sampingku. 

"Itu istrinya Bapak Guru yang rumahnya di dekat gang sana, bisanya ngabisin duit suaminya saja," ucapnya dengan raut muka mengejek.

"Nggak kasian sama suaminya, ya, Jeng! Pontang-panting sendiri," yang lain pun turut menimpali. "Maklum, ya! Pengangguran. Nggak kayak kita-kita yang banyak kerjaan."

Sindirannya mantap. Langsung kena di ulu hati. Bagaimana tidak? Akulah satu-satunya di lingkungan ini yang suaminya berprofesi sebagai seorang tenaga pendidik. Aku heran makhluk semacam ini masih saja lestari di muka bumi.

Oh my God.

Aku dibilang pengangguran? Ah, bukannya itu sebutan yang pas untuk orang-orang yang tanpa aktivitas, yang hidupnya luntang-luntung tidak jelas? Lalu, apa cap yang paling tepat untuk orang-orang yang hanya mengurusi hidup orang lain seperti mereka ini? batinku.

Astaghfirullah.

Kalau saja mengumpat itu tidak menyalahi norma, aku akan balas ucapan yang menyayat hati itu dengan sumpah serapah yang tak ada hentinya. Aku muak dengan tutur katanya. Merasa diri paling benar, tetapi menyimpang jauh dari kenyataan. Harusnya manusia seperti ini segera dimusnahkan dari bumi yang penuh tata aturan.

Akan tetapi, aku tidak boleh terlampau larut dengan pernyataan tak lazim itu. Dalam konteks ini, diam adalah cara yang paling ampuh. Kalau ditimpali, pasti lebih panjang lagi ceritanya. Celotehnya pun akan menjadi lebih panjang dari rel kereta. Jadi, lebih baik ikuti alurnya sembari persembahkan senyum terbaik yang kumiliki.

Setelah menghela napas untuk meredam amarah, kuedarkan pandanganku ke berbagai sisi agar emosiku tak tersulut. 

Tahan. Tahan, bisik hatiku kuat.

"Aku pulang dulu, ya, Bu, sepertinya cintaku sudah pulang," pamitku ketika kulihat dari kejauhan bahwa suamiku sudah memarkirkan motor kesayangannya di depan rumah. Sengaja kusebut 'cintaku' untuk memanggil suamiku di hadapan ibu-ibu itu, biar ada bahan lagi untuk mengghibah. 

"Jahatnya aku," bisikku sembari menahan tawa.

Kemudian, kupercepat langkahku. Tidak enak rasanya kalau sampai suami sudah pulang, aku tidak segera menyambutnya dengan hangat.

Setelah sampai di halaman rumah, kuhampiri suamiku. Lalu, kucium punggung tangannya dengan takzim.

"Assalamualaikum, Sayang. Tumben sudah pulang?" tanyaku.

"Waalaikumussalam. Iya, sayang. Hari ini kegiatan belajar mengajar nggak aktif, diganti dengan persiapan ujian. Jadi, Mas bisa pulang lebih awal," jawabnya dengan senyum manisnya yang selalu mematikan.

Alamak. Apa yang sebenarnya sedang kupikirkan? Pikiranku tak karuan.

Kini, mentari sudah mentereng dengan manjanya di atas kepala. Itu artinya waktunya Si Kecil tidur siang. Setelah ia terlelap, aku segera ke ruang keluarga menyusul suamiku yang sedang duduk santai di sana.

"Sayang," kupanggil suamiku.

"Kenapa, Sayang?" jawabnnya dengan tatapan mesra.

Aduh. Meleleh hati Adek, Bang, teriakku dalam hati.

"Sebel, deh, sama ibu-ibu di depan tadi," aduku pada suami, sekadar ingin meluapkan kegelisahan yang menggerogoti hati.

"Kok, gitu? Gak boleh manyun gitu, ah. Makin cantik, tuh," ujar suamiku sambil cekikikan.

"Sayang mah gak pernah serius. Males, ah. Gak jadi ceritanya," kataku dengan nada jengkel. Kan, istri juga butuh didengarkan keluh kesahnya. 

"Ya, udah. Sini! Cerita, geh, Sayang! Mamas tampan siap mendengarkan," ujar suamiku. 

Ucapan suamiku kali ini sungguh membahagiakan. Kulihat dari binar matanya ada rasa khawatir di sana. Soalnya, kalau aku sudah mulai diam, dia sendiri yang kelimpungan. Tingkat kekhawatirannya otomatis akan meningkat drastis.

Akhirnya ada teman cerita juga. Aku membatin.

Setelah menumpahkan uneg-uneg yang sudah menumpuk, kuharap beban pikiranku sedikit teredam.

Aku mulai berceloteh dengan menggebu, tentang aku yang dibilang sekolah tinggi-tinggi cuma mengurus dapur hingga saat aku dikatain pengangguran yang juga bisanya menghabiskan uang suami.

"Biarin, dong, Sayang! Kan, menyajikan hidangan untuk keluarga itu hal yang mulia. Kalau Mamas malah bangga. Tulusnya pengabdianmu itu membuatku makin terpesona," ungkap suami untuk meyakinkanku.

Aku sangat tersentuh dengan ucapannya. Menurutku, itu sedikit gombal, sih. Namun, tetap saja hal semacam itu mampu menghangatkan hatiku.

"Mas malah bersyukur kalau yang ngabisin duit itu kamu, Sayang. Daripada pengeluaran nggak jelas untuk perempuan lain, kan, makin aneh. Untuk nafkah keluarga memang kewajiban suami. Jadi, nggak usah dipikirin omongan mereka," lanjutnya lagi.

Kata-kata suamiku itu membuatku melayang. Aku merasa menjadi wanita istimewa dengan level keberuntungan yang sempurna.

"Kalau tentang formula sabar dan ikhlas, bisa belajar sama bapak dan mamak," katanya kemudian.

Ingatanku melayang jauh ke kampung halaman. Pikiranku kembali menelisik sosok yang selama ini aku banggakan. Darinya, aku belajar sangat banyak perihal rumitnya alur kehidupan.

Pernah satu waktu menjelang senja, aku dan Bapak duduk di pelataran belakang rumah sewaktu mudik kala itu. Kuamati sekeliling, seperti ada yang beda.

"Pak, kok, sepertinya batas tanah ini bergeser, ya? Makin sempit," selidikku. Aku yakin bahwa batas tanahnya berubah. Ada yang dengan sengaja merenggut haknya.

"Gak apa-apa, Nduk. Bapak malah bersyukur karena nggak perlu susah-payah lagi mencari ladang pahala," ujar bapak dengan begitu antusias.

Allah. Mulia sekali. Pinjami aku hatimu, Pak! ucapku dalam hati dengan menghalau rasa sesak.

Kulihat tak tampak rasa dendam menyelimuti. Sabar dan ikhlasnya memang sudah teruji. Aku harus banyak belajar ilmu sabar dan ikhlas darinya. Kuakui ini sulit. Namun, aku harus berusaha dengan maksimal.

Lamunanku kembali mengudara. Kutemukan satu titik nostalgia di sana. Ada sosok hebat menari-nari pada indahnya logika. Mamak. Dialah perempuan luar biasa yang stok sabar dan ikhlasnya juga super ekstra.

Aku masih ingat kisah yang sangat menyentuh hatiku. Kala itu aku masih remaja. Ada seseorang yang berbicara hal buruk tentangnya. Bisa dibilang itu sudah masuk ranah fitnah. Harusnya tak bisa dibiarkan begitu saja. Orang seperti harus dibinasakan dengan segera.

"Mamak, kok, diam saja dibilang yang enggak-enggak sama Bude itu?" tanyaku saat itu.

"Halah, gak apa-apa. Malah kita yang untung. Kalau kita ikhlas menerimanya, nggak perlu ngoyo beribadah, dosa kita berkurang dengan sendirinya."

Jawabannya seketika membuatku geleng-geleng. Sebagai anak muda, aku merasa malu. Sebab, aku tidak mampu menjadi seperti dirinya. Ternyata, stok sabar dan ikhlasku harus segera dipompa.

Pinjami aku hatimu, Mak! 

Kenangan itu perlahan memudar. Kali ini, aku harus banyak belajar, untuk selalu memupuk rasa ikhlas dan sabar. Apalagi sekarang diri ini sudah menjadi seorang ibu dan istri, emosinya harus lebih ditekan. Agar suasana hati kian tenteram.

"Terima kasih, Suamiku. Nasihatmu sungguh menenangkan." Mendengar kalimat itu, suamiku tersenyum merekah. Ada rasa damai terpancar di kedua bola matanya.

"Kembali kasih, Istriku. Aku percaya, kamu itu wanita kuat. Semoga tanggapan miring itu membuatmu makin hebat. Semangat menjadi ibu dan istri lebih yang baik lagi, Sayang!" kata suamiku penuh penguatan. Lalu, ia merengkuhku penuh cinta. Kali ini, rasa haru mengambil bagiannya, hingga aku larut dalam dekapannya.

Aku kuat. Aku hebat.

Aku memantapkan diri untuk tidak terlalu menanggapi komentar negatif orang-orang di luar sana. Agar kewarasan diri tetap terjaga sepenuh hati. Aku yakin bahwa aku mampu untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi setelah ini.

Selalu bimbing aku, Tuhan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun