Patriarki merupakan kesenjangan peran antara laki-laki dan perempuan yang dianut oleh masyarakat pada umumnya. Dalam sistem sosial, kasta laki-laki dianggap lebih tinggi dari pada perempuan. Laki-laki pun memiliki hak khusus yang menjadikannya sebagai sosok yang lebih superior dibandingkan dengan perempuan.
Ketimpangan-ketimpangan tersebut kerap terjadi dalam keluarga penganut patriarki.
Sayangnya, di era teknologi yang sudah kian canggih seperti sekarang, praktik patriarki tidak juga terkikis. Sehingga, perempuan menjadi terpinggirkan. Bahkan, tak jarang perempuan ditimpakan tugas-tugas ganda yang secara esensi jauh dari kata setara. Dalam hal ini, kesetaraan yang berkembang di masyarakat luas seolah-olah menjadi sebuah harga mahal yang harus dibayar oleh perempuan.
Oleh sebab itu, beban perempuan sangat tidak mudah. Pelbagai macam tantangan harus dihadapi ketika berada di lingkungan penganut patriarki. Setidaknya, ada tiga posisi yang mau tidak mau harus dijalani, yaitu selaku anak, istri, dan ibu.
Perempuan Menjadi Seorang Anak
Saat perempuan menjadi seorang anak, ia diharuskan untuk patuh pada kedua orang tuanya, termasuk ketika memilih pendidikan, pekerjaan, atau jodoh.Â
Para pengabdi budaya patriarki ini melarang dengan keras seorang anak perempuan untuk bersekolah di tempat yang jauh. Seolah-olah, ia memiliki tanggung jawab yang berat untuk mengabdi pada keluarga sebelum menikah. Dari mulai membantu menyiapkan makanan hingga membersihkan rumah. Itulah yang menjadi salah satu penyebab kebanyakan perempuan tertahan di rumah.
Berbeda dengan laki-laki yang diberi kebebasan dan kesempatan lebih. Ia bebas menentukan akan melanjutkan pendidikan sesuai kemauannya. Bahkan, untuk bekerja jauh dari rumah pun tidak apa-apa.
Sementara itu, untuk perempuan, ada batasan-batasan tertentu yang dibuat. Sehingga, secara tidak sadar, si anak perempuan yang malang itu, tidak dapat bergerak bebas. Mimpi-mimpi yang telanjur melambung tinggi juga terpaksa harus terhenti.
Perkara pekerjaan bagi perempuan dalam keluarga patriarki juga tak luput dari campur tangan orang tua. Ada jenis kegiatan yang hanya boleh dikerjakan oleh laki-laki. Padahal, perempuan juga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan sebuah pekerjaan yang sesuai keinginannya. Biasanya, si anak perempuan diberi pilihan pekerjaan menjadi seorang guru, yang katanya bisa dilakukan sekaligus mengurus rumah tangga saat sudah berkeluarga kelak. Dari sini tampak jelas bahwa anak perempuan tetap boleh bekerja asal urusan domestik juga dilakoni. Maka dari itu, peran ganda tak dapat dihindari. Sungguh miris sekali.
Tak hanya menyoal pendidikan dan pekerjaan yang diatur sedemikian rupa, tentang jodoh pun tak lupa diurusi. Anak perempuan dituntut untuk memiliki seorang keturunan, sehingga ia harus segera menikah ketika usia sudah terbilang matang. Seperti kisah Calon Arang yang melegenda, yang melakukan segala cara untuk mendapatkan sosok suami untuk anaknya, Ratna Manggali. Raja Airlangga kalang kabut atas wabah yang menimpa rakyatnya karena teror dari Calon Arang. Sebegitunya untuk mendapatkan penerus, ya? Untung saja, dalam buku yang ditulis oleh Toeti Heraty yang berjudul Calon Arang: The Story of A Woman Sacrificed to Patriarchy (2015) tersebut, Empu Bahula---yang diperintah Sang Raja untuk menikahi Ratna Manggali, menerima, dan keduanya juga saling mencintai. Kalau tidak, ikatan pernikahan yang diawali dengan paksaan itu akan berjalan dengan runyam.
Dalam kehidupan masa kini pun, aksi perjodohan semacam itu masih berlaku. Lagi dan lagi, anak perempuan harus menuruti kalau tidak ingin dicap sebagai anak durhaka nanti. Ada-ada saja memang drama dalam hidup ini.
Perempuan Menjadi Seorang Istri
Selain susahnya menjadi anak, peran sebagai seorang istri dalam lingkungan keluarga patriarki juga tidak gampang. Bahkan, ada istilah kalau tugas istri itu sekadar berkutat pada area dapur, sumur, dan kasur. Ruang gerak perempuan digambarkan begitu sempit sekali. Seakan-akan, perempuan hanya diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan rumahan saja. Padahal, tidak begitu hakikatnya.
Dalam pernikahan, suami dan istri mempunyai tanggung jawab yang sama besarnya perihal aktivitas di rumah, seperti memasak, menyapu, mencuci baju atau piring, dan mengasuh anak. Akan tetapi, kegiatan gotong royong itu tidak akan ditemukan dalam lingkup keluarga yang masih kental dengan adat patriarki.
Laki-laki yang membantu urusan internal rumah tangga dirasa akan hilang wibawanya. Penganut patriarki berpendapat kalau tugas utama seorang laki-laki hanyalah menjadi pencari nafkah saja. Pemikiran-pemikiran primitif seperti itu sungguh sangat meresahkan.
Bukankah lebih mengasyikkan kalau sepasang suami-istri bisa saling bekerjasama? Saling bahu membahu untuk mewujudkan relasi yang harmonis dengan berbagi peran yang sama besarnya. Misalnya, sang istri memasak, lalu suaminya yang membersihkan rumah. Setelah semuanya beres, dua insan itu bisa langsung menikmati santapan bersama seraya bercerita tentang banyak hal. Indah, bukan?
Namun, tentu saja, ketika berada di lingkungan patriarki, hal menakjubkan itu akan sangat sulit dilakukan.
Perempuan Menjadi Seorang Ibu
Di kalangan patriarki, perempuan dilabeli sebagai manusia yang gagal kalau belum memiliki momongan. Ada saja kata-kata tak sedap yang mampir di telinga ketika tak punya anak. Apa lagi, kalau ia mengambil keputusan untuk childfree, makin nyaring pergunjingannya. Kenyataannya, tanggung jawab menjadi seorang ibu sangat besar dan tentunya tidak semua orang siap dengan titel baru itu.
Tugas seorang ibu, tidak terbatas dari mulai hamil lalu melahirkan saja. Ada banyak peranan lain yang harus diemban, seperti mendidik anak, menyiapkan lingkungan yang tepat, memberikan kasih sayang berlimpah, menciptakan rasa aman dan nyaman, dan masih banyak hal lainnya.
Belum lagi kalau berhadapan dengan para penganut patriarki, persoalan pola asuh anak pun tak jarang dikomentari. Ada saja yang dipermasalahkan saat dalam pengasuhan tidak sesuai dengan yang ditunjukkan oleh lingkungan sekitar. Kalau tidak kuat, mental seorang ibu bisa hancur karena sering disalahkan dan dibanding-bandingkan.
Kalau sudah begini, lagi dan lagi, perempuan yang menjadi korban. Belum lagi, kalau pasangannya tidak peka dan bersikap abai mengenai keluhan sang istri, bisa-bisa hidupnya seakan-akan mati karena psikisnya diuji berkali-kali. Selain itu, kalau gangguan eksternal juga terjadi, makin lenyap saja nyali yang dimiliki.Â
Maka dari itu, jangan pernah memaksa perempuan untuk menjadi seorang ibu. Sebab, menyandang gelar sebagai ibu adalah salah satu tugas yang teramat berat. Tidak semua orang mampu melaluinya dengan bijak.
Menjadi anak itu berat. Menjadi istri pun sangat berat. Menjadi ibu juga tak kalah berat.
Ketiga peranan itu memerlukan tenaga dan jiwa yang hebat bagi perempuan, agar tetap bisa waras ketika ditimpa permasalahan terkait kekejaman patriarki. Selain itu, ia juga butuh pendukung yang solid agar tidak tumbang ketika dihantam cobaan bertubi-tubi.
Oleh karena itu, teruntuk para perempuan, jangan saling menghancurkan, ya! Mari kita buktikan bahwa women support women itu bukan isapan jempol belaka. Selanjutnya, mari saling menopang agar kesenjangan sosial tidak terjadi lagi. Penganut patriarki pun tidak akan eksis lagi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H