Mohon tunggu...
Ella Yusuf
Ella Yusuf Mohon Tunggu... Administrasi - Tukang Kebun

I love reading as much as I love my cats

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rin (Chapter 3 of 5)

27 Juli 2015   10:21 Diperbarui: 11 Agustus 2015   20:48 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Deretan buku tebal memenuhi kotak-kotak panjang lemari kayu. Kalau di dalam buku, lemari seperti ini akan punya satu buku bohongan yang bisa diputar agar kau bisa masuk ruang rahasia.

Di sisi kanan terdapat meja panjang besar dengan 3 boneka karakuri. Mereka pemanah, penulis, dan pemukul gong. Tuan besar pasti sangat menyukai boneka-boneka itu karena ia menempatkannya dengan rapih di dalam box kaca.

“Kalau saja saya tahu bahwa Anda ingin saya mengurus cucu Anda sebagai istri...” Kucengkram gelang ibu kuat-kuat. Perkataan tuan besar barusan menjelaskan alasan mengapa tuan muda membenciku. Siapa yang suka dijodohkan dengan anak kampung? Lagipula, hal besar seperti menikah butuh banyak pertimbangan... seperti rasa cinta contohnya.

“Kupikir kita sudah saling menyetujui. Aku akan urus bibi dan keluargamu, dan sebagai gantinya kau bersedia mendampingi Hiro,” Mata tuan besar memancarkan kesungguhan. Apa ia benar-benar serius dengan niatnya? Apa ia tidak bisa membaca situasi saat masuk tadi? Aku jelas tidak disukai.

“Anda tidak pernah bilang kalau Tuan Hiro sudah sebesar itu...” kudengar suaraku serak. Ikatan kedua seaglass gelang ibu sudah longgar, aku harus mengganti tali raminya nanti. Tuan besar menghela nafasnya, ia menyesap anggur perlahan. Tak pernah terpikirkan olehku kalau ternyata kakek renta yang kutemui di pesisir teluk ini adalah orang besar.

Andai aku tahu kalau bayaran awalku sangat besar hingga bisa melunasi seluruh biaya rumah sakit dan pekerjaan yang dimaksud adalah menjadi istri seseorang, mungkin aku akan menolaknya. Atau paling tidak mengusahakan jalan lain jika keadaan bibi memburuk.

“Kau benar-benar tidak ingin? Tak bisakah kau menjaga cucuku?” ia menatapku lekat. Wajahnya masih tersenyum, tapi Tuan terlihat sama sedihnya ketika kali pertama kami bertemu di pantai.

Ya, aku ingat betapa seluruh kisah gila ini diawali dengan tatapan itu. Kami bertemu di pinggir Teluk Toyama. Saat itu aku dalam perjalanan pulang dari tambak. Ketika hendak melewati jalan setapak pesisir, aku melihat seorang kakek duduk kelelahan di beton pembatas. Ia terlihat pucat dan hanya menatap sedih ke arah jalan. Karena khawatir, aku menghampiri kakek tua itu, dan benar saja... si kakek tengah tersesat. Ia tak tahu caranya kembali ke penginapan. Kala itu dengan perasaan bimbang, aku menawarkan diri untuk mengantarnya. Bukan aku tak benar-benar ingin mengantarnya ke penginapan, tapi aku ragu apakah nantinya ia mencurigaiku. Namun di luar dugaan, setelah kujelaskan dimana aku tinggal ia langsung menyambut niatku dengan ramah. Malam itu kami berjalan beriringan. Aku menemaninya melalui jalanan menanjak menuju penginapan. Sekali-kali kami beristirahat.

Selama perjalanan kami mengobrol tentang banyak hal. Ikan, pemandian air panas, dan semua fakta tentang cumi-cumi. Si kakek terlihat senang ketika aku menceritakan asal-usul cumi berpendar yang menghiasi bibir pantai Toyama. Cukup senang sampai ia memintaku untuk menemaninya jalan-jalan esok harinya.

Selama seminggu penuh kami saling bercerita hingga suatu saat ia mengetahui masalahku dan menawarkanku pekerjaan sebagai penjaga cucunya di Tokyo. Karena saat itu ia menawarkan pembayaran di muka sehingga aku bisa membayar biaya rawat inap bibi. Butuh 4 hari sampai aku menerima tawaran itu, butuh empat hari setelah kuketahui bahwa bibi harus dioperasi. Jadi, di sinilah aku sekarang. Berhadapan dengan si kakek yang ternyata punya banyak uang dan memintaku untuk jadi istri cucunya.

 “Tapi tuan...”

“Tak bisakah?” ulangnya. Tuan besar menggenggam tanganku. Kurasakan kehangatan tangan tuan besar. Tangan-tangan keriput itu sama hangatnya dengan tangan ibu. Dewa, ini tidak akan mudah. Ibu tolong aku.

**

Sudah seminggu sejak kepindahanku ke kediaman Hanada. Sejauh ini aku mengisi hari-hari dengan mengikuti pelajaran kepribadian dan kelas bahasa asing. Untungnya  setelah 4 jam mengikuti aljabar dan sastra, tutor memberiku waktu istirahat.

“Nona, teh Anda ada di sini,” Umi-san meletakkan cangkir keramik bergagang di atas meja belajarku. Ia satu-satunya penghuni rumah selain tutor dan tuan besar yang masih mau menyapaku. Umi-san adalah perempuan umur 30 awal, ini tahun kesepuluhnya bekerja untuk tuan besar. Selain dirinya ada Kagami-san, Ariake-san, dan Chiyo-san. Tapi aku belum pernah bertemu salah satu dari mereka, karena selain keluar untuk makan malam, aku belum diizinkan untuk keluar kamar.

“Terimakasih...”

“dan ini tali rami yang nona tanyakan,” lanjut Umi-san sambil tersenyum. Ia memberikanku tiga utas rami yang bentuknya sama persis dengan yang dipakai ayah.

“Umi-san...” aku menerima tali rami itu, mataku panas. Umi-san tersenyum, “apa ini untuk membetulkan gelang cantik itu?” tanyanya. Aku mengangguk.

“Sudah kuduga, untunglah kupesan Ariake untuk membelikan tali yang sama persis. Nona? Ada apa?”

**

Ia menangis. Beberapa bulir air bening lolos dari sela-sela matanya. Memang beberapa hari terakhir Rin terlihat makin pucat.

“Nona... apa saya boleh memeluk Anda?” tanya Umi akhirnya. Tapi belum juga Umi mendapat jawaban, Rin langsung mendekat dan memeluknya erat-erat. “maafkan aku... terimakasih Umi-san,” ujarnya ditengah tangis yang kian pecah.

Umi merasakan perasaan hangat di hatinya. Ia semakin yakin kalau gadis ini bukan menjual dirinya untuk uang seperti yang Tomine, paman dan bibi tuan muda katakan. Ia mengusap rambut hitam Rin.

“Ini pasti berat untukmu...” gumamnya, Rin terdiam sambil terus mengeluarkan air mata. Umi bisa merasakan perasaan kesepian di punggung gadis ini. Tinggal sendiri di rumah asing dalam keadaan terisolir tentu membuat siapa saja ingin menangis. Setelah beberapa menit, akhirnya Rin melepaskan pelukannya.

“Aku akan bilang ke Sata-sensei kalau nona kurang enak badan, lebih baik nona istirahat.” ujar Umi sambil menuntun gadis itu ke ranjang.

“Terimakasih Umi-san...” mendengar ini Umi tertawa, “Kuharap nona bisa mengatakan kalimat lain selain terimakasih dan maaf,” melihat Umi tertawa, mau tak mau Rin ikut tersenyum geli.

Perasaan Rin jauh lebih baik. Ia senang karena akhirnya ada orang yang mau memeluknya. Gadis itu merebahkan diri dan jatuh terlelap. Ia tidur dengan perasaan lega tanpa mengira bahwa keadaan buruk akan terjadi setelah ini.

**

bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun