Mohon tunggu...
Nur Laili Hawa
Nur Laili Hawa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Hi selalu semangat dimanapun kalian berada wahai generasi Indonesia maju!!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengatasi Emosi Disgust dan Shame pada Anak Usia Dini

13 Desember 2022   20:25 Diperbarui: 13 Desember 2022   20:56 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Halo teman-teman apa kabar?, semoga senantiasa baik di mana pun kita berada aamiin...

Setiap orang pasti pernah merasakan jijik akan sesuatu dan merasakan rasa malu. Di dalam islam rasa jijik terkadang perlu guna memotivasi diri untuk menjadi pribadi yang bersih dan tidak jorok. Seperti hadits yang berbunyi "Kebersian itu adalah sebagian dari iman" HR. Ahmad, Muslim dan Tirmidzi . Begitu juga dengan rasa malu yang tertera pada salah satu hadits yang berbunyi "Malulah kalian kepada Allah dengan benar-benar rasa malu" HR. Tirmidzi no. 2458. 

Pada hadits tersebut menerangkan rasa malu akan berbuat perbuatan tercela hendaknya merasa malu kepada Allah S.W.T. Hadits di atas merupakan contoh rasa jijik dan malu yang mengarah pada hal yang positif. 

Namun rasa jijik dan malu yang berlebihan juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kepribadian seseorang. Tidak sedikit rasa jijik dan malu yang berlebihan dibiarkan tanpa penanganan atau pengarahan yang tepat tertanam menjadi kebiasaan sampai seseorang tumbuh dewasa. Contoh dari dampak rasa malu yang berlebihan yakni tidak percaya diri, pesimis, dan bahkan rasa takut yang berlebihan. 

Tentunya sebagai orang tua kita tidak ingin anak-anak kita memiliki kepribadian yang serupa. Kali ini kita akan mempelajari lebih dalam mengenai emosi Disgust & Shame terhadap perkembangan sosial emosional anak usia dini.

Apa itu Disgust?

Disgust atau jijik merupakan emosi yang terjadi akibat penampilan, bau, dan tekstur. Raja jijik yang dialami seseorang berbeda-beda atau tidak dapat diukur kadarnya. Biasanya rasa jijik juga disertai dengan emosi negatif yakni rasa takut akan sesuatu, kecemasan, dan kemarahan. Misalnya ada seorang anak bernama Ali yang jijik dengan  cicak. 

Lalu saat Ali bermain dengan teman-temannya ada salah satu teman Ali membawa mainan miniatur cicak dan dilempar lemparkan ke arah teman-temannya lalu mainan cicak tersebut terkena tangan Ali. Dengan spontan Ali teriak ketakutan dan marah kepada teman temannya karena telah jail kepada Ali. 

Contoh cerita di atas merupakan salah satu dampak dari emosi jijik yang dapat mempengaruhi sosial emosional anak. Terlihat bahwa sikap Ali yang tiba-tiba marah kepada teman-temannya yang sedang asik bermain mainan cicak. Sikap Ali tersebut tidak menuntut kemungkinan bahwa teman-teman Ali akan menganggap Ali anak yang tidak asik dan memicu ketidak harmonisan. 

Sebagai pendidik atau pun orang tua kita harus mampu mengatasi rasa jijikan pada anak. Hal yang dapat dilakukan yakni menstimulus anak dengan berbagai macam tekstur, bentuk, dan rasa. Contoh pada kasus Ali orang tuanya dapat mengenalkan akan berbagai macam-macam bentuk hewan, serta berbagai macam tekstur, dapat juga dengan mengajak ke kebun binatang atau belajar menggunakan miniatur-miniatur hewan. Tujuannya guna mengenalkan kepada anak akan berbagai bentuk dan tekstur hewan agar anak tidak geli dan merasa jijik dengan hewan tersebut. 

Apa itu Shame? 

Shame atau malu merupakan emosi yang menyakitkan disertai dengan rasa tidak berdaya, merasa tidak mampu, merasa tidak berharga, dan merasa 'kecil' atau rendah. Sehingga saat seseorang mengalami emosi malu tidak jarang dari mereka yang kehilangan kepercayaan diri, keberanian, bahkan merasa minder. Tentu rasa malu yang berlebihan mampu memberikan dampak negatif bagi kepribadian seseorang. Contohnya ada anak bernama Sasa, sasa merupakan sosok yang pemalu. 

Suatu hari saat sasa sedang duduk di teras depan rumahnya teman-teman Sasa hendak bermain dan melewati rumah Sasa. Teman-teman Sasa pun mengajak Sasa untuk bermain lompat tali bersama. Namun Sasa menolaknya dengan malu-malu dengan alasan ia takut tidak bisa bermain lompat tali karena Sasa belum pernah bermain lompat tali sebelumnya dan Sasa takut jika ia kalah main maka akan ditertawakan oleh teman-temannya. 

Contoh cerita di atas menggambarkan bahwa Sasa memiliki rasa malu sebab ia takut jika ia kalah bermain akan ditertawakan oleh temannya dan nanti ia akan merasa malu. 

Hal seperti ini yang sering kali masih diabaikan oleh para orang tua dengan anggapan "biar sudah masih kecil nanti kalo sudah besar berani sendiri". Padahal hal seperti itu dapat mempengaruhi hubungan sosial emosional anak. Jika Sasa terus menolak ajakan teman-temannya maka tidak menutup kemungkinan Sasa akan tidak ditemani karena dianggap Sasa tidak asik. 

Sebagai orang tua seharusnya mampu menumbuhkan rasa percaya diri kepada anak, membiasakan berani mencoba segala hal baru yang positif, serta tidak takut kalah akan suatu hal namun menjadikan motivasi untuk lebih baik di hari berikutnya. Dengan begitu akan tidak ada lagi anak-anak yang memiliki sikap seperti Sasa. 

Membangun kepercayaan diri kepada anak diantaranya dengan:

  • Memuji anak saat anak melakukan hal positif
  • Memberikan contoh yang baik sehingga ditiru oleh anak
  • Menghindari memarahi anak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun