Ada seorang Kompasianers yang menilai artikel saya yang pertama dengan judul Jidatku ..1 lebih menekankan arti “ Atsari sujud” pada arti non-metaforik atau letterlejk saja dari pada arti yang lebih aplikatif dalam kehidupan sehari hari antar sesama anak bangsa.
Saya berargumen bahwa artikel pertama saya sudah netral dan berimbang tanpa memarjinalkan salah satu tafsir dari ayat ini termasuk tafsir “jidat hitam” itu. Mengenai judul dan isinya yang seakan membela jidat hitam karna jidat hitam di sini seperti kasus Rasis the Black and White di Amerika dimana telah semena mena dimarjinalkan karna sebab sebab khusus.
Ya karna sebab sebab khusus, dari terorisme sampai radikalisme dan kejadian kejadiam pemboman segelintir orang terhadap tempat ibadah non Muslim yang seharusnya di lindungi. Jadi dalam artikel tersebut saya memposisikan diri sebagai “lakum diinukum wa liya diin” bagi seluruh tafsir karana keyakinan apapun di Indonseia wajib di lindungi asal tidak melecehkan agama lain. Dalam domain agama saja (yang lebih luas dari sekedar jidat) dilindungi maka apalagi dalam domain yagn sangat kecil semacam jidat hitam malah harus dilindungi demi melindungi segenap warga negara Indonesia seperti tercamtum dalam pembukaan UUD 45.
Sebelum jidat ini menjadi komoditas fitnah, hanya untuk tahaddust binni’mah kebetulan keluarga saya dari jalur Kakek adalah guru ngaji kitab kuning yang ditempuh dengan sepeda onthel. Karna ahli keihklasan dalam mengajari sorogan, beliau diberi maunah oleh Allah untuk jarak berpuluh puluh kilo meter bisa lebih cepat dari yang memakai kendaraan . Aktifitas dakwanya diteruskan oleh salah satu anak beliau yang menjadi paman saya . Masih kuat ingatan saya kulit jidat paman saya berwarna lebih coklat dari yang sekitarnya walaupun tidak hitam.
Beliau menjadi pembela NU dari kejahatan PKI alias Kyai kampung tulen dan wafat juga sebagai kyai kampung. Beliau adalah satu dari mungkin ribuan kyai kampung lagi sepuh yang betul betul bermujahadah dengan sholat malam dan berjuang di NU dengan penuh keikhlasan . Kebetulan mereka mempunyai tanda tanda seperti kehitam hitaman dan mereka itu luar biasa ikhlasnya dalam berjuang di masyarakat.
Biar tidak terlalu melebar, saya sajikan kembali firman Allah dalam surat Alfath ayat 29.
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا (الفتح : 29)
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (Q.S al-Fath [48]: 29)
Saya, hamba Allah yang faqir ilmu ini menawarkan solusi agar masalah jidat hitam ini tetap mempnyai penafsiran beragam tanpa satu mengklaim kebenaran atas yang lain.
Mencoba memahami tafsir itu dengan ayat itu sendiri.
- سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ
Artinya adalah “tanda tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.” Jadi tanda tanda mereka (nanti kita bahas mereka ini) itu bisa dilihat pada wajah wajah mereka. Wajah dalam kamus bahasa Arab Online berarti
مَا يُوَاجِهُكَ مِنَ الرَّأْسِ وَفِيهِ العَيْنَانِ وَالفَمُ وَالأَنْفُ
Bagian depan dari kepala yang di dalamnya terdapat dua mata , bibir dan hidung. Siima itu kata plural dari wasiimah yang berarti tidak satu tanda tapi beberapa tanda. Dapat kita fahami di sini saja bahwa tanda tanda yang tidak singgular itu ada pada wajah yang meliputi bagian muka dari kepala terdapat di dalamnya jidat, mulut, mata , hidung dan dagu. Tentunya aktifitas positif dari anggauta tubuh dalam lingkup wajah sangat mungkin masuk kategori tanda tanda tersebut.
Tanda-tanda pada wajah yang sudah dijelaskan pada paragraf di atas kemudian dipersempit parameternya dengan frasa “min atsari assujud” bermakna dari bekas sujud. Tanda tanda itu baik yang bersifat verbal maupun non verbal , terlihat maupun tidak, fisik maupun non fisik, akan valid jika memenuhi syarat “dari bekas sujud “ atau “efek dari aktifitas sujud dalam sholat”. Jika tanda tanda itu ada tapi bukan dari bekas sujud kepada Allah maka insya Allah akan batal dengan sendirinya.
Misalnya jidat hitam karna sujud bukan sholat tapi sengaja menghitam hitamkan atau menggesek gesekkan jidat dengan benda benda yang membikin kulit jidat kehilangan kekuatan untuk mempertahankan warna asli. Maka otomatis dengan motivasi riya ‘ semacam itu tanda itu bukan yang dimaksud dalam ayat ini.
Di sini penyempitan makna “bekas sujud “ belum selesei karna kata “siima” atau tanda tanda dinisbatkan kepada “hum” menjadi “siimaahum” atau “tanda tanda milik mereka”. Nah penyempitan ini menjadi yang sangat fundamental karna secara speisifik mengerucut kepada pemilik dari tanda tanda itu. Siapa mereka pemilik tanda tanda itu ? Mereka adalah :
- “..orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya”
- Orang orang yang mengikuti Nabi Muhammad Saw dengan sifat keras terhadap orang orang Kafir dan lembut ke sesama Muslim, rajin sholat dengan ikhlas karna Allah semata.
Tentu ayat ini masih dieksepsi dengan ayat lain dengan kondisi damai dan bukan dalam kondisi perang. Hal mana secara tegas Nabi melindungi orang Non Muslim yang tidak memperlihatkan permusuhan dan bahkan melukai mereka sama dengan melukai Nabi saw. Tapi bagi yang memperlihatkan permusuhan maka “kekerasan” wajib diambil untuk melindungi manusia yang lebih banyak.
Dari uraian saya yang sangat minimalis ini, jidat hitam boleh menjadi tanda dan boleh jadi tidak karna ia harus melewati “persyaratan” yang cukup ketat untuk sampai kepada keputusan bahwa itu adalah tanda tanda yang dimaksud ayat ini tapi bukan kita yang berhak menjudge itu karna itu ranah keyakinan. Namun membatalkannya sama sekali dari “nominasi” tanda tanda mereka dari sekian banyak tafsir adalah bentuk dari arogansi atau radikalisme yang berlindung di ketiak hegemoni golongan tertentu.
Wallohu a’lam bisshowab
Nurkholis Ghufron
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H