Mohon tunggu...
Nurkholis Ghufron
Nurkholis Ghufron Mohon Tunggu... wiraswasta -

Alumni MI Darussalam Padar, Mts Darussalam Ngoro, Darussalam Gontor 94, berwirausaha, Suka IT...To declare does'nt mean to be Proud of. It rather than to be thankful to teachers and carefully behaviour...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saya Setuju Haji Tidak Di Bulan Zulhijjah Saja

1 Oktober 2015   23:27 Diperbarui: 1 Oktober 2015   23:56 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya Setuju ‘Haji’ Tidak Di Bulan Zul Hijjah Saja.

Haji secara bahasa di ambil dari kata Al Hajju yang berarti menyengaja atau menuju dan mengunjungi . Sedang arti Haji secara terminologi Syariat adalah ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula. Yang dimaksud dengan temat-tempat tertentu dalam definisi diatas, selain Ka'bah dan Mas'a(tempat sa'i), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Yang dimaksud dengan waktu tertentu ialah bulan-bulan haji yang dimulai dari Syawal sampai sepuluh hari pertama bulan Zulhijah. Adapun amal ibadah tertentu ialah thawaf, sa'i, wukuf, mazbit di Muzdalifah, melontar jumrah, mabit di Mina, dan lain-lain[1].

Jika saya mempetakan, Haji dalam makna umum adalah mengunjungi Baitullah untuk beribadah. Makna haji yang umum ini didefinisikan dengan “asyhurum ma’lumat” atau pelaksanaannya harus di bulan bulan yang telah dikenali yakni :Syawwal, dzul qo’dah dan Dzul Hijjah yang berarti mengunjungi Baitullah di luar bulan bulan itu bukan disebut haji dalam terminologi syariat. Jadi haji berdasarkan referensi firman Allah Surah al- Baqarohayat ke 197 bahwa al-hajju asyhurun ma’lûmât (ibadah haji adalah beberapa bulan yang telah ditentukan). Kalimat ini menggunakan kata asyhurun yang berarti beberapa bulan atau bulan-bulan (jamak/plural) dan bukan kalimat syahrun ma’lûmun, kata syahrun yang berarti bulan (tunggal/singular). Ini jelas waktu yang sangat panjang kira kira 88-89 hari atau tiga bulan Hijriah (dengan asumsi panjang hari berseling 29-30). Proses berihram untuk haji menurut ijma ulama boleh dari bulan pertama yang dikenal itu yakni bulan Syawwal.

Belum selesei di situ, etimologi haji berdasar terminologi Syariat dipersempit kembali atau ditakhsis dengan hadist Rasulullah ;” Al Hajju Arofah.” Haji itu Arofah “. Dalam arti tegas haji yang tidak disertai wuquf di Arofah pada siang hari tanggal 9 dzul Hijjah maka tidak disebut haji yang memenuhi terminologi syariat. Wukuf di Arafah ini menjadi inti dari ibadah Haji dari sekian banyak rukun dan syarat Haji Arafah ibarat penutup dan penyempurna amaliah amaliah ibadah haji. Tanpa wukuf di Arafah , boleh lah ia disebut haji ziarah, haji wisata, haji rekreasi dll di luar terminologi syariat ini.

   [caption caption="ilustrasi penyempitan makna haji, dokumen pribadi"][/caption]                        Ada takhsis lagi atau penyempitan terhadap makna Haji dari lafad umum Haji pada makna lughawi di atas berdasarkan Hadist Nabi ﷺyang memerintahkan kita mengambil cara haji beliau:

Khudzuu Anni Manaasikakum

Ambillah dariku cara manasik kalian.

Cara dan waktu beliau sudah jelas dilaksanakan dalam haji wada’ pada tahun 10 Hijriah dengan khutbah di padang Arafah yang sangat terkenal itu. Kemudian diikuti dengan melempar Jumrah sampai tanggal 13 Dzul Hijjah.

Dari haji beliau yang satu satunya Haji seyogyanya kita tak berandai andai jika beliau ﷺ haji berkali kali maka akan banyak masalah haji sekarang ini yang terseleseikan termasuk masalah pembatasan masa haji yang berdampak berdesak desakan. Rasulullah ﷺ berhaji sekali dan ditakdirkan hanya sekali tentu tidak kebetulan. Semua telah dihitung oleh Allah secara teliti dan detil karna beliau dijadikan suri tauladan dalam multi dimensi tak tertinggal di dalamnya ritual haji.

Justru jika kita betul mengikuti beliau ﷺ dengan berhaji hanya sekali seumur hidup dan tidak berambisi haji berkali kali dengan memakai argumen “ini uang gue kenapa lho pada sewot ? “ tentu akan sangat signifikan menurunkan jumlah jamaah dan satu masalah akan sedikit demi sedikit terurai. Tentunya kesadaran untuk mencapai konsensus haji cukup sekali tidaklah mudah untuk dicapai tanpa memangkas ego ego di sekitar haji yang sudah cukup kuat mengakar dan bahkan kita sulit mendefinisikan itu bagian dari haji atau bukan. Keuntungan finansial dari uang yang mengendap bertrilyun trilyun rupiah telah menyuburkan jiwa permisiv di banyak kalangan di tingkat eksekutor kebijakan haji dan bahkan mungkin agen agen haji yang “merasa berhak” mendapatkan rizki dari lingkaran ini

Lantas apa solusi bagi yang rindu ka’bah ?. Rasulullah ﷺ ber umrah empat kali di samping haji yang sekali , jadi dengan berhaji sekali seumur hidup tidak serta merta menghalangi siapapun yang merindukannya untuk mencurahkan rindunya ke Baitullah di bulan bulanl selain tiga bulan yang dikenal itu.

Dr Zulfikar Ali Shah mengilustrasikan dengan apik hubungan Haji dengan Arafah, dan Idul Adha dalam artikel yang beliau beri judul “Why Is Idul Adha A day after Arafah?”., dalam salah satu paragrafnya beliau memberikan kongklusi:

It is pertinent to note here that though there is no clear cut Qur’anic or Hadith text which requires all Muslims to celebrate Eid al-Adha after the day of Hajj, there are plenty of indirect references in the Qur’an and the Sunnah that connect this day of festivity with the acts of Hajj and Wuquf of Arafah. Furthermore, there is no text whatsoever, neither in the Qur’an, Sunnah nor in any authentic classical book of Fiqh, that remotely indicates that the Prophet (PBUH), or his Companions or any classical Muslim scholar has ever required to go, knowingly, against the established day of Wuquf of Arafah as announced by the Hajj authorities. Hajj is an expression of Muslim unity in addition to being a source of many spiritual reminders. It has political as well social dimensions. These aspects can be fulfilled only if the Muslim Ummah is united in observing Hajj especially once it has become possible to know through rapid means of communication when the Hajj is going to be performed. In our present circumstance there is no justification, under any fiqhi rule, to go against the Day of Hajj. Currently, going with Hajj is more beneficial (Maslahah) than celebrating Eid al-Adha independent of Hajj.

Sangatlah penting untuk digarisbawahi di sini walaupun tak ada salinan ayat Al Quran dan Hadist yang memerintahkan seluruh Muslim untuk merayakan Idul Adha setelah Haji (Arafah), di sana banyak sekali riwayat yang tidak langsung menjelaskan posisi ini di Al Quran dan Sunnah yang mengkorelasikan antara Idul Adha dengan perintah haji dan wuquf di Arafah. Lebih jauh dari itu tak ada satupun text bahkan dalam Alquran, Assunnah, ataupun dalam buku buku fiqh salaf yang autentik yang menjelaskan kepada kita bahwa Nabi Muhammad atau para sahabat atau para ulama di minta menjauhi hari wukuf di Arafah yang dimaklumkan sebagai syarat inti Haji (sah tidaknya haji). Haji adalah ekspresi dari persatuan ummat Islam dan dibalik itu banyak nilai spiritual yang bisa menjadi pengingat Muslim di seluruh dunia. Berdimensi politik dan sosial. Dan aspek ini hanya bisa dipenuhi jika bersatu padu tumpah ruah dalam waktu yang sama dan tempat yang sama menjalankan Haji. Dalam zaman yang penuh dengan perang pemikiran sekarang ini, tak ada pembenaran yang dibolehkan atas dasar fiqh manapun untuk mengabaikan Hari Arafah . Walupun sekarang ini, mengerjakan haji itu lebih maslahah dari pada merayakan Idul Adha itu sendiri.

Kongklusi dari artikel ini, saya setuju pendapat KH. Masdar dalam masalah pelaksanaan Haji tidak harus beberapa hari yang sempit seperti sekarang namun tidak akan setuju jika Wukuf di Arafah dimaju mundurkan demi masalah politik atau karna ada fataliti. Jika KH. Masdar mampu mengubah kebiasaan Muslim Nusantara yang ketika tahlilan harus memakai hitungan 7 hari 40 hari dan 1000 hari yang sudha menjadi pakem...baru boleh berfiikir mengubah ubah Haji...tapi saya tak yakin beliau sanggup mengubah pakem jawa itu karna akan berhadapan dengan ratusan juta Nahdhiyyin juga. Ini tantangan saya ke beliau tolong dishare.

Wallohu a’lam bisshowab.

Nurkholis ghufron.

[1] Wikipedia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun