Seorang pria tinggi paruh baya dengan tubuh penuh luka di sekujur tubuhnya berjalan terhoyong ke pelataran sebuah masjid kecil di siang bolong di hari Jumat . Di dalamnya , puluhan laki laki dan anak laki laki duduk bersila mendengarkan khotbah dari khatib yang berdiri di depan hadirin. Meski syahdu, anak anak berlarian ke sana kemari dan bercanda sehingga suara sang khatib hampir tak terdengar karna ‘kicauan’ anak anak anak yang asyik masyuk. Pria paruh baya itu adalah seorang yang digusur oleh Satpol PP atas Basuki Cahaya Purnama dari rumah yang dibelinya dari saudaranya ketika mudik lebaran beberapa hari yang lalu. Tak mengira akan apa yang akan terjadi, dia bahkan hanya membawa uang untuk konsumsi selama perjalanan dari kampung ke Jakarta ditambah sedikit ongkos untuk angkutan umum jika terjadi perpindahan dari kereta Api menuju Kampung Pulo di mana ia akan tinggal dan bekerja sebagai tukang tambal ban.
Dalam sayup sayup antara riuh anak anak tadi dia sempat merekam pesan sang Khatib menyitir hadist Nabi :
Barang siapa yang mendoakan kekekalan bagi pemimpin yang zalim maka ia berarti telah rela Allah dimaksiati di bumi Nya.
Ia ingat ingat pesan sang Khatib di tengah-tengah kerancuan dengan bayangan di antara para Sat Pol di bawah kendali Ahok yang beringas memukulkan tongkat tongkat berwarna hitam ke tubuh nya yang sudah rapuh di makan usia gara gara ia memaki salah satu satuan tersebut yang menendangnya sampai terjatuh tepat di sebelah gerobak lusuh peralatan tambal ban berwarna kuning mix dengan biru .... Belum sampai di situ, kawan kawan satpol yang kesetanan begitu melihat kawannya menendang tukang tambal ban tersebut menjadi sinyal bahwa ia “mangsa” yang perlu diberi pelajaran, mereka berlarian bak laron di malam hari melihat cahaya lampu petromax di malam hari di pegunungan yang tak di aliri listrik dari PLN. Pukulan bogem pun mentah bertubi tubi menghujaninya sampai ia tak sadarkan diri roboh terpental ke sebelah kanan gerobak peralatan tambal ban tersebut untunglah kepalanya jatuh tepat mengenai ban yang jadi pelindung kepalanya. Andai saja meleset beberapa senti saja maka kepalanya akan mengenai bak gerobak yang terbuat dari besi siku 5 cm yang baru di rakit oleh tukang las setempat di bulan suci Ramadhan kemarin.
“Ah sudahlah...life must go on..” gumamnya dalam hati menenangkan batinya yang penuh amarah membara, kalau saja bukan karna perutnya menerima logistik lebih awal maka ia akan kembali dengan amarah yang meledak ledak dengan membawa golok yang dibelinya dari orang kampung sebelah.
“Khatib tadi benar juga..pasti ada rahasianya kenapa ketika saya hadir Khatib tadi langsung memberi pesan kepada jamaah hadist ini padahal saya tidak memesannya. Di dunia ini pasti ada yang mengatur dan tak ada kebetulan...” dia berfikir keras dengan menyandarkan tubuhnya pada pembuangan sampah sementara yang terbuat dari beton.
“Kalau seandainya, berdoa untuk pemimpin yang zalim saja tak boleh karna sama saja dengan ridha Allah dimaksiati di bumi Nya maka bagaimana jika saya membunuhnya...ahh tidak tidak ..Islam akan jadi olok olokan...tapi kenapa kalau pelaku non Muslim tak disebut teroris ya...Bom Bangkok pelakunya Non Muslim tapi berita di media massa adem adem saja bahkan di Indonesia jika pelakunya Non Muslim dilindungi bahkan orang orang yang berada di Ormas Islam juga melindungi merka...ah mereka standar ganda di mana mana...tunggu tunggu...berarti kalau saya membunuhnya dengan identitas non Muslim pasti orang Islam tak tercemar karna ini missi penting untuk menyelamatkan banyak orang yang tak tahu nafsu jahat Ahok yang sebenarnya sangat ambisius untuk menjadi pemimpin Indonesia.” Dia berfikir dari waktu ke waktu sambil menawarkan keahliannya kepada tukang tambal di sisi sisi jalan raya Jakarta yang panas itu untuk menyambung hidupnya selama di ibu kota tersebut.
Setelah kemalangan di sepanjang jalan , akhirnya ada orang yang mau menerimanya dengan upah harian. Dia digaji 100 ribu perhari dan makan 1 kali sehari yang diberikan pada makan siang dengan sistim kasbon di warung Tegal “Mbak Sri” terletak di samping lapak bosnya. Uang kopi dan rokok ditanggung oleh sang pemilik bengkel asalkan bersedia untuk bekerja 24 jam non stop dan satu bulan 30 hari tanpa libur. Dia terima deal ini dengan senang hati mengingat bebnerapa hari yang lalu langkahnya terseok seok tanpa makan di bawah sengatan sang surya Ibu Kota yang tak lagi ramah .
Hari harinya diisi dengan banting tulang. Kadang sepi kadang ramai tergantung dari pada rizki bosnya. Ketika sepi ia gunakan untuk shalat dan istirakhat. Saking penatnya ketika shalat dhuhur , dia ketiduran dalam tasyahhud akhir rakaat terakhir dan bermimpi seakan akan dia berada di dalam kantor Ahok menggunakan Jas bak orang Eropa, bercelana pantopel, menggunakan sepatu orang kantoran dan berdasi necis mirip orang perbankan lah.
Dia, dalam mimpinya, membawa map yang berisi laporan progres penggusuran kampung Pulo.
“Immanuel !!.loe buka laporan progres penggusuran. Tutup pintunya agar tak ada yang denger kita.” Ahok perintahkan dia untuk buka laporan perkembangannya dengan pintu tertutup rapat. Dalam ruangan tersebut hanya ada dua insan yang secara serius ingin melihat perkembangan proses penggusuran kampung Pulo. Dalam beberapa detik kemudian, masih dalam mimpinya dia berhasil menusukkan bulpoin ke matanya yang ternyata sebilah pisau yang cukup tajam dan diberi racun sehingga walaupun dengan luka sedikit saja bisa membunuh yang di lukainya karna racun tersebut masuk kategori XXX.
Sejurus kemudian dia keluar dengan santai kemudian mempercepat langkah kaki menuju ruang parkir untuk mengendarai sepeda motor Honda yang dipakai untuk racing. Secepat kilat dia menggeber sepeda motornya ke luar dari Jakarta. Masih dalam mimpinya , dia telah berada jauh dari ibu kota untuk mencari warung tegal kesukaanya. Tanpa di sangka sangka dia menemukan “warteg Sri “ yang menjadi pusat dari pada warteg di Jakarta dimana dia berlangganan kemarin.
“Pak Immanuel pesan apa....?.” Seorang pramusaji cantik yang cerdas menyapanya lewat identitas pada papan nama yang
“Pecel tumpang satu piring tambah lauk pauk. Minuman teh hangat !!.” Pesan dia kepada pramusaji warteg Sri pusat.
Sambil melepas dasinya agar tak kegerahan, dia mengambil remote kontrol tv di meja makan untuk melihat berita tv. Sejurus kemudian , saluran televisi yang dia buka melaporkan peristiwa pembunuhan Ahok secara Live dari lokasi . Reporter dalam televisi tersebut rata rata kesulitan untuk menggunakan definisi dari kekerasan yang berujung kematian Gubernur Jakarta ini karna background pembunuhnya yang disangka Non Muslim bernama Immanuel serta menggunakan dasi dan jenggot tercukur bersih ini. Tapi akhirnya semua sepakat setelah melakukan ‘briefing’ antar televisi swasta demi menyamakan persepsi maka disepakati bersama untuk menggunakan istilah “pembunuh” atau paling ektrim menggunakan istilah “perusuh berdasi” atau “pembunuh tanpa jenggot “ menggantikan istilah “teroris dan terorisme”.
Bahkan setelah beberapa kali tayang akhirnya disepakati untuk menghentikan siaran karana tersangka tak memenuhi standar “ jidat hitam, namanya ke arab araban, berjenggot, menggunakan gamis dan identitas muslim tentunya “, para kruw dengan sangat cemas mengemasi peralatan siaran untuk segera memenuhi panggilan “Kantor Pusat” yang ternyata dialihkan untuk meliput kebakaran hutan di Sumatra.
Dalam hiruk pikuk tanggap keamananpun juga terjadi perdebatan alot yang akhirnya diputuskan untuk tidak mendeploitasi Densus 88 karna tak adak unsur “teror dan terorisme” cukup melibatkan kepolisian bagian kriminal saja.
Tukang tambal ban pun menghabiskan makan siang di Warteg Bu Sri dengan santai dan membuang papan nama Immanuel dan seluruh pakaian dinasnya dan ketika dia melirik pramusaji yang cantik ...tiba tiba... ada suara yang cukup keras ....
“Tamballllll bannnnn....” Dia pun tersadar dari mimpi nya.
(What you read is an opinion not fact. What you see is perspective not the truth.)
Nurkholis Ghufron.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H