Ilustrasi, harga beli rumah sebesar Rp100 juta. Untuk jangka waktu 5 tahun, bank syariah misalnya akan mengambil keuntungan sebesar Rp50 juta sehingga harga jual rumah kepada nasabah ditetapkan sebesar Rp150 juta. Dengan demikian, angsuran yang harus dibayar nasabah per bulan adalah Rp150 juta dibagi 60 bulan atau sekitar Rp2,5 juta per bulan.
Dengan adanya kepastian jumlah angsuran bulanan yang harus dibayar sampai masa angsuran selesai, nasabah tidak akan dipusingkan dengan masalah naik/turunnya angsuran ketika suku bunga bergejolak. Nasabah juga diuntungkan ketika ingin melunasi angsuran sebelum masa kontrak berakhir, karena bank syariah tidak akan mengenakan pinalti. Bank syariah tidak memberlakukan sistem pinalti karena harga KPR sudah ditetapkan sejak awal.
Pembiyaan rumah ini dapat digunakan untuk membeli rumah (rumah, ruko, apartemen) baru maupun bekas, membangun atau merenovasi rumah, dan untuk pengalihan pembiayaan KPR dari bank lain. Fatwa DSN MUI No 4/DSN-MUI/IV/2000 telah menjamin keabsahan dan diperbolehkannya transaksi murabahah, termasuk dalam hal ini pembiayaan rumah di bank syariah.
Bentuk lain yang digunakan yaitu KPR iB sewa beli (Ijarah Muntahiya Bittamlik/IMBT). Skema ini memberi pilihan kepada nasabah untuk menyewa rumah yang akhirnya dapat dimiliki hingga akhir masa sewa. Dalam skema ini, harga sewa ditentukan secara berkala berdasarkan kesepakatan antara bank dengan nasabah. Umumnya skema ini digunakan untuk pembiayaan KPR iB berjangka waktu panjang misalnya 15 tahun. Pada akhir tahun jatuh tempo, nasabah dapat membeli rumah yang disewa.
Perbedaan KPR konvensional dan KPR Syariah
Perbedaan pokok antara KPR konvensional dengan syariah terletak pada akadnya. Pada bank konvensional, kontrak KPR didasarkan pada suku bunga tertentu yang sifatnya bisa fluktuatif, sedangkan KPR Syariah bisa dilakukan dengan beberapa pilihan akad alternatif sesuai dengan kebutuhan nasabah, diantaranya KPR iB Jual Beli (skema murabahah), KPR iB sewa (skema ijarah), KPR iB Sewa Beli (skema Ijarah Muntahia Bittamlik-IMBT), dan KPR iB Kepemilikan Bertahap (musyarakah mutanaqisah).
KPR konvesional akadnya adalah prinsip pinjam meminjam dengan bunga sebagai variabelnya. Di dalam transaksi ini jelas sekali terdapat unsur riba didalamnya, karena menggunakan sistem bunga yang fluktuatif dan meningkat seiring lamanya pelunasan hutang tersbut. Transaksi ini hukumnya adalah haram dan sebaiknya ditinggalkan. Dalam bunga KPR, pihak Bank Konvensional hanya meminjamkan uang dan tidak memiliki rumah secara lahir, walau nantinya berhak menyitanya jika pihak yang berhutang tidak mampu membayarnya.
Dengan KPR syariah yang diberikan oleh bank syariah dapat menghindari resiko naik turunnya bunga. KPR syariah tidak mengenal bunga namun memakai harga penjualan rumah yang disepakati, ditambah dengan keuntungan bagi bank yang berkisar 15-20% per tahun. Secara hitungan matematis, KPR syariah sebenarnya tidak berbeda jauh dalam jumlah cicilan bulanan KPR konvensioanal, walaupun umumnya sedikit lebih mahal. Namun keuntungan menggunakan KPR syariah adalah jika suku bunga naik bergejolak, karena sudah sepakat mengenai harga jual dan keuntungan pertahun di awal perjanjian, nasabah selamanya akan mencicil sejumlah yang disepakati dari awal hingga berakhirnya masa jangka waktu kredit.
Sebagian bank syariah ada yang menjadikan bunga sebagai “benchmark” profit marjin yang diambilnya. Sesungguhnya tujuan bank syariah itu agar marjin profit yang diambilnya bisa tetap kompetitif dan tidak lebih mahal, sehingga bisa bersaing dengan “bunga” yang ditawarkan oleh bank konvensional. Kalau terlalu tinggi marjinnya, nasabah akan lari, dan kalau terlalu rendah, bank syariah bisa merugi. Fungsinya hanya sebagai benchmark, tidak lebih dari itu. Proses akad/transaksinya tetap berbeda.
Konsep pembiayaan Islam menekankan bahwa bank tidak dapat memastikan keuntungan seperti halnya bank konvensional yang menentukan pendapatan bunga deposito bunga di muka. Bank juga tidak dapat menanggung risiko atas satu pihak (debitur) saja melainkan pihak pemilik dana (kreditur ) juga ikut menanggung resiko (loss sharing). Oleh karena itu konsep pembiayaan Islam tidak membenarkan adanya pihak yang lepas tangan terhadap resiko yang terjadi. Dengan demikian konsep resiko dalam pembiayaan Islam ini didistribusikan kepada pelaku-pelaku ekonomi.
Pembiayaan KPR syariah sebagaimana pembiayaan pada produk-produk perbankan syariah lain didalamnya terdapat akad tertulis yang merupakan perjanjian kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai produk pembiayaan yang diingigkan termasuk juga didalamnya jumlah nominal, persyaratan peminjaman, waktu pembayaran dan cara pembayaran dalam pembiayaan.