Mohon tunggu...
Khof H
Khof H Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Mari menjadi tidak sederhana!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerpen: Pandemi, Kami dan Hari Ini

24 Agustus 2021   16:37 Diperbarui: 24 Agustus 2021   17:08 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi : baktiNews

Untuk kamu yang masih berjuang terus berjuang dan berjuang lah. Hidup tidak lebih keras dari kerikil panas jalanan yang selalu Mereka tapaki untuk sesuap nasi. Menyisipkan pundi-pundi Rupiah yang tidak sedikit untuk biaya pendidikan dan hal penting lainnya. 

Benar adanya jika berat kehidupan dipikul sendiri kata menyerah pasti terselip di dalamnya. Aku ingin menyerah saja. Aku tidak kuat. Maafkan aku. Tuhan bantu kami, jangan biarkan langkah ini berhenti karena belati sudah tertanam jauh kerelung hatiku. Aku frustasi.

Melihat mereka berangkat meraih rezeki dari Sang Ilahi pagi buta sekali selalu menggangguku. Terlahir dari keluarga miskin garis petani membuat aku harus benar-benar berjuang untuk segera keluar membawa keluargaku dari Kungkungan garis ekonomi yang sudah jauh tertinggal. 

Ini tahun ketiga untukku mengadukan nasib mencari perspektif baru lingkungan nyata untuk perjalanan yang sudah ku tempuh. Hanya beberapa orang saja dari Desaku yang berkesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi dan aku sangat bersyukur berkesempatan dalam salah satunya. Dedikasi yang sangat tinggi ku persembahkan akan kehebatan orang tuaku. Meskipun tertatih dalam himpitan ekonomi garis bawah. Tetap bersedia ikut menambah beban yang sudah terlanjur berat untuk kembali pukul demi anak-anaknya. 

Pendidikan sangat penting tapi bukan karena itu aku menyukainya. Proses dalam pendidikan ini yang membuat aku selalu ingin berada dan terus ingin meraihnya. Menurut ku orang yang menyukai pendidikan belum tentu suka dengan sekolah. Tapi orang yang menyukai sekolah sudah terlanjur nyaman dengan pendidikan dan aku tidak suka sekolah. Bukan karena guru dan lingkungannya. Tapi ini tentang sistem yang menaunginya membuat tidak nyaman saja. Tidak ada kejelasan dan parahnya membunuh jiwa-jiwa merdeka dengan peraturan yang tidak masuk akal, meski hanya beberapa tapi pasti kau jumpai. Membunuh karakter. 

Ironisnya cobaan yang menimpa seluruh negeri di dunia merasakan guncang maha dahsyat. Pandemi Covid-19. Aku tau betul semua memang merasakan guncang, tapi guncang yang bagaimana? Sebagian kelompok merasakan guncang yang membuat namanya menjadi jajaran orang terkaya dunia beriringan dengan keterpurukan ekonomi kelompok lainnya. Termasuk kami. Kami masuk dalam garis depan keterpurukan ekonomi itu bersama saudara senasib walau tak sepenanggungan. 

Hari ini, sayatan kesakitan sudah tak bisa terpendam lagi. Aku merasa sangat menjadi beban yang amat sangat berat dalam situasi ini dengan biaya pendidikan yang harus orang tuaku berikan. Aku bukan anak cerdas yang mendapatkan prestasi dan beasiswa. Aku hanya anak petani yang ingin berpendidikan dan orang tuaku siap diberatkan menanggung beban biaya yang tidak sedikit itu. Membuat aku berada dalam ketidakjelasan dalam merasa. 

Pertama, aku sangat bahagia dan merasa senang akan sambutan baik dari orang tuaku. Lantas, selanjutnya...bisikan jahat datang mengiringi langkahku. 

"Nadira, kamu benar-benar egois. Mementingkan diri sendiri. Bersenang-senang atas kesusahan orang tua."

Sungguh... kalimat itu sangat terngiang di telingaku hingga saat ini. Aku merasa jahat. Lagi pula aku belum bisa memberikan apa-apa kepada orang tuaku. Lantas aku harus bagaimana? Meninggalkan ini semua? Membuat yang orang tuaku korbankan menjadi nyata kesia-siaan? 

Ketahuilah, aku berjuang...meski tidak seberat orang tuaku. Aku sedang berproses...dan masa-masa ini membuat aku tidak boleh terjerembab pada perjuangan orang tua yang terus memikirkan ku dengan mendurhakai pemberian mereka ini dengan berbuat yang sia-sia. Semoga kelak suatu saat aku harus bisa menggandeng tangan-tangan yang sudah berjuang untuk hidupku, mengayomi dengan sepenuh hati, dapat ku balas meski tidak akan pernah terlunaskan. 

Thanks God untuk nikmat dan pengalaman yang sudah engkau berikan padaku. Jauhkan aku dari segala hal yang tidak engkau ridhoi. 

Egois tidak selalu buruk. Aku belajar untuk egois saat ini. Sungguh, bukan karena lelah memikirkan orang sekitar tapi ini untuk kewarasan dalam berpikir dan bertindak. Memikirkan pendapat orang yang cuma bisa ngomong doang akan menjatuhkan mu kedalam kejatuhan yang sejatuh jatuhnya jatuh. 

Membandingkan diri dengan orang lain meskipun sesama manusia yang menghirup oksigen untuk tetap hidup tidaklah bijak. Kita punya cerita yang berbeda atas kehendakNya. Jangan merepotkan diri memikirkan yang tidak patut untuk dipusingkan. 

Aku Nadira, yang masih berjuang. Jangan sia-siakan yang Tuhan berikan. Bersyukur atas semua. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun