Mohon tunggu...
Nurhasanah
Nurhasanah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang perfeksionis yang gemar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Book

Resensi Novel "Pulang" Karya Toha Mochtar

27 Januari 2024   21:48 Diperbarui: 3 Februari 2024   10:17 857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semakin lama Tamim sering berbohong, Kebohongan itu mulai membuatnya gelisah dan takut cerita penuh dusta yang ia karang akan diketahui seluruh warga desa. Hatinya tidak tenang membayangkan bagaimana reaksi warga desa seandainya mereka tahu kalau Tamim adalah seorang pembohong besar. Oleh karena itu, Tamim memutuskan meninggalkan desa untuk mengembara selama empat bulan.

Pada suatu hari, ia bertemu Pak Panji di suatu kota. Namun, pertemuan mereka memberi Tamim sebuah kabar buruk. Pak Panji memberitahu Tamim kalau ayahnya telah meninggal dunia dan warga desa memintanya untuk pulang. Setelah mengetahui kabar tersebut, Tamim amat menyesal. Akan tetapi, ia masih takut untuk pulang karena kebohongannya yang belum terbongkar. Pak Panji mengatakan kalau warga desa yang mengurus sawah Tamim selama ia pergi tanpa mengambil hasil sawah itu sama sekali. Pak Panji juga mengatakan bahwa kekhawatiran Tamim terlalu berlebihan dan tak masuk akal. Tamim pun menyesali perbuatannya. Akhirnya, ia pulang ke kampung halamannya dan langsung berziarah ke makam sang ayah yang dikuburkan di samping makam neneknya. Tamim berjanji di hadapan nisan ayahnya kalau ia tidak akan meninggalkan keluarganya lagi dan bersungguh-sungguh akan merawat sawahnya. Sesampainya di rumah, tamim meminta maaf kepada ibu dan adiknya karena telah meninggalkan mereka. Mereka pun memaafkan tamim dan senyum kebahagiaan kembali hadir di rumah bersejarah itu.

Novel ini merepresentasikan pergolakan batin yang dialami tokoh Tamim. Rasa bersalah dan penyesalan dirasakan Tamim karena telah memerangi bangsanya sendiri. Perasaan tersebut sebenarnya menggambarkan bahwa Tamim memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Hal itu juga tergambar dari kepulangannya ke kampung halaman setelah bertahun-tahun menjadi tentara Heiho. Sebagai seorang pejuang, Tamim juga memiliki jiwa patriotisme yang tergambar dari perjuangannya mendapatkan kembali sawah milik ayahnya seolah-olah mempertahankan bangsa dari para penjajah. Namun, rasa bersalah yang dialami Tamim membuatnya takut untuk jujur dan mengakui kisahnya selama menjadi tentara Heiho. Rasa bersalah itu menyesatkannya pada kebohongan yang semakin menghantui dirinya sendiri. Kebohongan itu pula yang membuatnya lari dari tanggung jawab karena takut mendapatkan kebencian dari masyarakat. Kematian ayahnya adalah penyesalan terbesar Tamim karena kebohongan dan sifat egoismenya itu. Pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah ini adalah lebih baik jujur meskipun menyakitkan daripada melindungi fakta menyakitkan itu dengan kebohongan. Pada intinya, dusta akan mengantarkan manusia pada kesengsaraan batin yang tiada akhir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun