Ide tulisan ini pertama kali lahir ketika penulis memperoleh informasi dari berbagai media tentang mundurnya seorang Profesor Artificial Intelligence (AI), Geoffrey Hinton dari perusahaan raksasa yang bergerak di bidang jasa dan produk internet Google.
Dilansir dari berbagai media di Amerika Serikat, alasan Hinton mundur karena kekhawatirannya terhadap berbagai resiko sebagai akibat dari perkembangan AI bagi kehidupan manusia. Melalui akun Twitternya @geoffreyhinton mengunggah cuitan pada 1 Mei 2023, "In the NYT today, Cade Metz implies that I left Google so that I could criticize Google. Actually, I left so that I could talk about the dangers of AI without considering how this impacts Google. Google has acted very responsibly". Selepas Hinton hengkang dari Google, kini ia ingin fokus membicarakan tentang bahaya AI bagi kehidupan manusia.
Hinton dalam berbagai kesempatan telah mengungkapkan bahwa dengan kehadiran AI ini, di dunia maya akan terjadi transaksi informasi berupa gambar, video, suara, serta teks non orisinil atau palsu secara besar-besaran. Itulah mengapa literasi digital masyarakat perlu ditingkatkan. Minimal, masyarakat awam menyadari terlebih dahulu kehadiran AI ini.
Seorang pakar AI terkemuka mengatakan bahwa tujuan AI adalah untuk mengembangkan mesin yang berperilaku seolah-olah cerdas. AI adalah ilmu dan teknik pembuatan program komputer cerdas yang mampu memahami kecerdasan manusia (McCarthy, 2007).
Berbagai fenomena telah terjadi dalam kehidupan manusia semenjak kehadiran AI ini. AI pun menjadi salah satu topik yang hangat untuk diperbincangkan. Salah satunya ialah fenomena saat pemenang lomba fotografi bergengsi internasional, Sony World Awards (SWPA) 2023, kategori kreatif diumumkan. Karya fotografer asal Jerman, Boris Eldagsen terpilih sebagai pemenang.
Eldagsen mengirimkan sebuah foto hitam putih yang diberi judul "Cheeky Monkey" dengan objek yang ditampilkan dua orang wanita dari generasi yang berbeda.
Sebagai pemenang, Eldagsen menolak menerima hadiah yang diberikan. Atas penolakannya inilah yang kemudian memunculkan polemik. Ternyata, karya yang ia kirimkan merupakan foto yang ia buat melalui teknologi AI. Eldagsen mengaku bahwa ia sengaja mengirim foto AI tersebut untuk menguji sejauh mana pihak penyelenggara serta juri lomba bergengsi seperti ini siap dalam mengantisipasi kehadiran AI. Tentu, ini menjadi pukulan dan pelajaran berharga bagi dunia fotografi dan visual grafis sekaligus.
Melalui blog pribadinya eldagsen.com, ia memberikan keterangan bahwa foto yang dihasilkan oleh AI tidak akan pernah bisa disandingkan dengan foto asli, apalagi sampai harus dipertandingkan dalam ajang perlombaan.
Tidak hanya berdampak pada dunia fotografi, dunia tarik suara pun kini harus melek. Belakangan, banyak bermunculan cover lagu versi AI di beberapa kanal Youtube. Sebut saja pada kanal DVRLL @diyokupluk9172 yang telah mengunggah banyak cover lagu AI dengan menggunakan suara presiden Jokowi. Pada kanal RJ Entertainment juga yang mengunggah lagu dangdut versi AI menggunakan suara personal girlband Blackpink.
Selain itu, ada juga teknologi AI bernama ChatGPT (Generative Pre-trained Transformer) yang memungkinkan manusia mengajukan segala macam pertanyaan yang akan dijawab dengan cepat oleh robot dengan gaya percakapan yang sangat mirip dengan manusia. ChatGPT ini berbeda dengan mesin pencari yang masih terbilang konvensional dalam dunia internet. Dampaknya, banyak peserta didik yang memanfaatkan teknologi ini untuk mencari informasi yang mereka butuhkan dalam mengerjakan tugas sekolah atau kuliah. Mereka menjadi tidak bijak dalam memanfaatkan teknologi tersebut dan berakhir pada kebiasaan malas berpikir secara kritis, pasif, dan kreatifitas tidak tersalurkan.
Tulisan ini tidak dibuat untuk menolak kehadiran AI. Penulis sadar bahwa pada hakikatnya, AI sengaja diciptakan dan dikembangkan oleh para penemunya untuk kemaslahatan manusia, di mana melalui teknologi ini komputer dapat menjalankan pekerjaan yang bahkan lebih unggul dari manusia. Namun, bukan berarti bahwa AI dapat menggantikan peran manusia. Bagaimanapun AI tetaplah produk buatan manusia yang memiliki keterbatasan.
Berbagai pihak yang memiliki akses otoritas terhadap kehadiran teknologi ini, termasuk para tenaga pendidik (guru dan dosen) harus menjadi garda terdepan dalam mengantisipasi dampak negatif yang akan ditimbulkan. Pihak-pihak tersebut agar mampu merancang kebijakan dan pedoman yang tepat dalam mengatur penggunaan AI. Selain itu, inilah kesempatan para pakar atau ilmuwan pada bidang teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan produk yang dapat mengantisipasi dampak negatif AI, misalnya teknologi yang dapat memudahkan manusia dalam melakukan pelacakan terhadap produk yang dihasilkan AI dalam berbagai bentuk.
Kehadiran AI idealnya dimanfaatkan dengan bijak dan bertanggung jawab. Dimanfaatkan sebagai alat bantu dan bukan pengganti peran. Menolak kehadirannya pun adalah suatu hal yang tidak mungkin, karena perkembangan teknologi merupakan suatu hal yang pasti terjadi. Salam literasi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H