"Bukannya kamu sedang melakukan pekerjaan lain?"
"Tidak apa, untuk memenuhi bak ini paling hanya dua belas ember saja. Kamu bisa bantu Sari mencuci jadi cepat selesai.!" Anisa melepaskan karet penimba air dan menyorongkannya padaku, aku menerimanya. Pipinya yang putih bersemu merah, aku suka melihat wajahnya yang merona. Dengan jilbab berwarna hijau botol, di mataku Anisa begitu memesona. Matanya yang bulat besar menatapku, bibirnya yang merah delima tak mengucapkan satu kata apa pun. Dia masuk ke dalam bilik membantu Sari. Sambil menimba aku mencuri-curi pandang pada kedua gadis muda itu.
"Nuhunnya Hong, ayo Nis bantu aku membilas," ucap Sari. Anisa hanya diam, menunduk. Badannya membungkuk meraih baju-baju yang siap dibilas. Dengan posisiku yang sedang menimba, aku dengan jelas menikmati lentik bulu matanya yang tebal, hidungnya yang bangir kontras dengan bibirnya yang mengatup mungil.
"Ngobrol atuh Nis, kok diam saja?" Sari menyikut lengan Anisa. Anisa tampak salah tingkah.
"Ngobrol sama siapa?" Tanyanya bingung. Sari tertawa.
"Kamu maunya sama siapa?" Sari balik bertanya, Anisa cemberut. Sedikit mengangkat wajahnya. Dan lagi-lagi matanya bersirobok dengan mataku. Terasa menghujam menembus ulu hati, terasa ada yang mengalir hangat memenuhi sanubariku bersemayam di dasar hati yang paling rahasia, dadaku berdegup kencang, entah mengapa rasanya begitu indah.
Memenuhi bak yang terbuat dari batu itu tidaklah lama untukku. Aku sudah sangat terbiasa menimba air, itu pekerjaan kecil saja, telapak tanganku yang penuh dengan kapalan sebagai buktinya. Setelah bak penuh, aku pergi meninggalkan mereka. Sari lagi-lagi mengucapkan terima kasih padaku, sedangkan Anisa tetap membisu. Tapi aku yakin, saat aku melangkah meninggalkan sumur dia memandangi punggungku. Untuk menguji keyakinanku, aku membalik dan mata bulat bening itu memang tengah memandangi langkahku. Anisa tersipu malu, menunduk. Aku mengulum senyum.
"Aku tahu kamu naksir Anisa kan?" Nurdin menodongku dengan pertanyaan. Aku tak memedulikannya, aku meraih cangkul kembali dan melanjutkan pekerjaanku. Bunyi hand phone Nurdin berbunyi, Nurdin mengeluarkan HP nya dari saku celana birunya. Tampaknya dia menerima pesan, setelah membaca pesan dia tampak mesem-mesem lalu bersiul-siul kecil. Cangkulnya semakin lincah menghajar ilalang-ilalang dan rerumputan yang tumbuh liar dan subur. Mungkin dari Nafisha pikirku, kalau bukan dari gadis itu Nurdin tak mungkin tampak sebahagia itu. Cinta memang bisa membuat orang sangat bahagia, bersemangat, dan bergairah. Aku menatap ke arah sumur, Anisa dan Sari tampaknya sudah selesai mencuci. Sari yang membawa bakul cucian. Anisa mengikutinya dari belakang. Aku berharap dia menoleh ke arahku. Dan aku bersorak, mata cemerlang itu menatap ke arahku, walaupun sekejap tapi itu sudah cukup.
Sejak saat itu aku senang mencari-cari kesempatan untuk bisa menatapnya. Apakah rasa ini juga yang dirasakan Nurdin terhadap Nafisha. Mungkin iya, usia kami sudah bukan anak-anak lagi, aku yakin inilah cinta itu. Walaupun aku dan Nurdin tentu sangat berbeda. Nurdin dan Nafisha sudah benar-benar memiliki rasa yang sama, mereka telah mengikat janji berdua. Sedangkan aku? Mungkin saja Anisa tak menyambut perasaanku. Mungin aku bertepuk sebelah tangan. Aku yang ke-GR-an. Aku tahu banyak santri yang menyukai Anisa. Menurutku Anisa memang santri paling cantik di pesantren kami. Usianya tujuh belas tahun, lulusan Madrasah Tsanawiyah. Orang tuanya tak mengizinkan dia melanjutkan sekolah formal. Walaupun menurut yang aku dengar, Anisa sangat  ingin bersekolah.
***
     Â