Bagian 2
Mata Cemerlang dari Balik Sumur
Â
Minggu pagi, aku dan santri laki-laki lain pergi ke kebun belakang kobong milik Kiai Basri. Dari kemarin kiai sudah menugasi kami untuk membersihkan kebun yang luasnya kira-kira dua patok itu. Aku sudah meminta izin pada emak, kalau minggu pagi ini aku tidak bisa membantunya menumbuk ketan. Kiai akan menanami kebun itu dengan pohon jinjing, menurut beliau kayu jinjing bisa dipanen dalam waktu lima tahun sekali, dan harga kayu jinjing dari tahun ke tahun pasti naik. Nurdin adalah teman paling dekatku di kobong, dia salah satu santri yang tinggal di kobong karena rumahnya jauh. Orang tuanya sengaja mengirim dia ke pesantren Kiai Basri, karena kebesaran nama Kiai Basri. Kiai Basri sering mengisi ceramah-ceramah dalam hajatan, atau acara-acara islam di berbagai kampung, bahkan sampai ke kota. Tak heran jika santrinya cukup banyak. Para orang tua memercayai santri yang mengaji pada Kiai Basri tidak memalukan. Setahuku kiai tak pernah meminta iuran pada santri-santrinya, tapi para orang tua santri itu rutin mengirimi anak-anaknya beras, atau uang dalam amplop yang biasa diberikan untuk membayar listrik di pesantren. Aku sendiri sudah mengaji pada Kiai Basri sejak kecil, pertama kali kakekku mengantar ke kobong, menemui Kiai Basri dan menyerahkanku untuk dididik dengan ilmu agama.
Sebagai santri aku selalu siap, jika tenagaku dibutuhkan Kiai. Karena hanya tenaga yang aku miliki. Sebenarnya santri lain pun sama. Mereka pun siap mengerjakan pekerjaan di sawah, di kebun, mengantar Kiai ke luar kampung untuk berceramah. Menurut kami, itu salah satu bakti kami terhadap Pak Kiai. Membalas kebaikannya yang telah memberi ilmu tanpa pamrih. Tidak hanya santri laki-laki yang dengan senang hati bekerja untuk meringankan beban Kiai Basri. Santri perempuan pun sama. Dari sejak pagi mereka sibuk di dapur, ada juga yang menyapu halaman, mengepel, dan mencuci di sumur. Istri Kiai, Umi Saleha memiliki empat anak yang masih kecil-kecil, semua anaknya perempuan. Umi Saleha cukup kerepotan kalau harus mengurus rumah pula.
"Tampaknya lebih enak mengambil bibit jinjing ke sawah Haji Kodir lalu menanamnya daripada kebagian tugas membersihkan kebun." Ujar Nurdin sambil memainkan cangkulnya, mencangkuli tanah yang berwarna hitam, sesekali ia pun memotong ilalang yang tumbuh subur dengan parang.
"Jangan mengeluh, kamu tenang saja. Ishak dan Ali tak mungkin menggoda Nafisha, incaranmu itu," jawabku, Nurdin tersenyum karena ketahuan isi hatinya. Aku memang sudah lama tahu, kalau Nurdin ada hati pada anaknya Haji Kodir, Nafisha yang saat ini duduk di kelas satu Madrasah Aliyah. Nurdin sendiri selain mengaji di pesantrean Kiai Basir, dia pun bersekolah di tempat yang sama dengan Nifisha. Saat ini Nurdin duduk di kelas dua. Orang tua Nurdin seorang tengkulak gula merah yang cukup sukses. Aku kadang kagum dengan Nurdin, walaupun orang tuanya berada tapi Nurdin tetap tampil bersahaja.
"Kau sendiri Hong, apa kamu tidak tertarik pada salah satu santri perempuan atau cewek-cewek di sekolahmu itu?" Aku menanggapinya dengan senyum, kulirik sumur yang tepat di belakang dapur rumah Kiai Basri, dari arah kebun yang berada di seberang sumur aku bisa melihat rutinitas para santri perempuan yang ada di dapur dan di sumur. Pintu dapur terbuka. Kulihat Anisa membawa bakul cucian bersama Sari. Sari masuk ke dalam bilik di samping bak untuk menampung air, yang terbuat dari batu. Bilik itu terbuat dari  bambu yang tidak terlalu tinggi. Jadi yang mencuci di sumur itu kalau dia berdiri akan tampak jelas. Sumur itu memang diperuntukkan untuk aktivitas mencuci saja. Anisa, mulai menimba air. Jemarinya yang ramping dan pipih memegang karet penimba. Dengan sedikit membungkuk dia mengangkat ember dari dalam sumur dan menumpahkannya ke dalam bak. Jujur aku tidak tega melihat jemarinya yang halus menggerek karet penimba air yang pasti membuat telapak tangannya perih dan bisa kapalan. Seperti tanganku.
"Aku bantu mereka menimba air dulu, Din." Ucapku, sambil pergi menghampiri Anisa. Tak kupedulikan Nurdin yang menatapku curiga.
"Biar aku saja yang nimba air, Nis," perempuan tujuh belas tahun itu, tampak terkejut sekejap dia menatapku.
"Bukannya kamu sedang melakukan pekerjaan lain?"
"Tidak apa, untuk memenuhi bak ini paling hanya dua belas ember saja. Kamu bisa bantu Sari mencuci jadi cepat selesai.!" Anisa melepaskan karet penimba air dan menyorongkannya padaku, aku menerimanya. Pipinya yang putih bersemu merah, aku suka melihat wajahnya yang merona. Dengan jilbab berwarna hijau botol, di mataku Anisa begitu memesona. Matanya yang bulat besar menatapku, bibirnya yang merah delima tak mengucapkan satu kata apa pun. Dia masuk ke dalam bilik membantu Sari. Sambil menimba aku mencuri-curi pandang pada kedua gadis muda itu.
"Nuhunnya Hong, ayo Nis bantu aku membilas," ucap Sari. Anisa hanya diam, menunduk. Badannya membungkuk meraih baju-baju yang siap dibilas. Dengan posisiku yang sedang menimba, aku dengan jelas menikmati lentik bulu matanya yang tebal, hidungnya yang bangir kontras dengan bibirnya yang mengatup mungil.
"Ngobrol atuh Nis, kok diam saja?" Sari menyikut lengan Anisa. Anisa tampak salah tingkah.
"Ngobrol sama siapa?" Tanyanya bingung. Sari tertawa.
"Kamu maunya sama siapa?" Sari balik bertanya, Anisa cemberut. Sedikit mengangkat wajahnya. Dan lagi-lagi matanya bersirobok dengan mataku. Terasa menghujam menembus ulu hati, terasa ada yang mengalir hangat memenuhi sanubariku bersemayam di dasar hati yang paling rahasia, dadaku berdegup kencang, entah mengapa rasanya begitu indah.
Memenuhi bak yang terbuat dari batu itu tidaklah lama untukku. Aku sudah sangat terbiasa menimba air, itu pekerjaan kecil saja, telapak tanganku yang penuh dengan kapalan sebagai buktinya. Setelah bak penuh, aku pergi meninggalkan mereka. Sari lagi-lagi mengucapkan terima kasih padaku, sedangkan Anisa tetap membisu. Tapi aku yakin, saat aku melangkah meninggalkan sumur dia memandangi punggungku. Untuk menguji keyakinanku, aku membalik dan mata bulat bening itu memang tengah memandangi langkahku. Anisa tersipu malu, menunduk. Aku mengulum senyum.
"Aku tahu kamu naksir Anisa kan?" Nurdin menodongku dengan pertanyaan. Aku tak memedulikannya, aku meraih cangkul kembali dan melanjutkan pekerjaanku. Bunyi hand phone Nurdin berbunyi, Nurdin mengeluarkan HP nya dari saku celana birunya. Tampaknya dia menerima pesan, setelah membaca pesan dia tampak mesem-mesem lalu bersiul-siul kecil. Cangkulnya semakin lincah menghajar ilalang-ilalang dan rerumputan yang tumbuh liar dan subur. Mungkin dari Nafisha pikirku, kalau bukan dari gadis itu Nurdin tak mungkin tampak sebahagia itu. Cinta memang bisa membuat orang sangat bahagia, bersemangat, dan bergairah. Aku menatap ke arah sumur, Anisa dan Sari tampaknya sudah selesai mencuci. Sari yang membawa bakul cucian. Anisa mengikutinya dari belakang. Aku berharap dia menoleh ke arahku. Dan aku bersorak, mata cemerlang itu menatap ke arahku, walaupun sekejap tapi itu sudah cukup.
Sejak saat itu aku senang mencari-cari kesempatan untuk bisa menatapnya. Apakah rasa ini juga yang dirasakan Nurdin terhadap Nafisha. Mungkin iya, usia kami sudah bukan anak-anak lagi, aku yakin inilah cinta itu. Walaupun aku dan Nurdin tentu sangat berbeda. Nurdin dan Nafisha sudah benar-benar memiliki rasa yang sama, mereka telah mengikat janji berdua. Sedangkan aku? Mungkin saja Anisa tak menyambut perasaanku. Mungin aku bertepuk sebelah tangan. Aku yang ke-GR-an. Aku tahu banyak santri yang menyukai Anisa. Menurutku Anisa memang santri paling cantik di pesantren kami. Usianya tujuh belas tahun, lulusan Madrasah Tsanawiyah. Orang tuanya tak mengizinkan dia melanjutkan sekolah formal. Walaupun menurut yang aku dengar, Anisa sangat  ingin bersekolah.
***
     Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI