Bagian 1
Tentang Aku
Orang-orang memanggilku Ahong. Nama itu begitu saja tersemat padaku sejak aku terlahir  ke muka bumi ini. A-h-o-n-g, anak si tukang bohong, begitulah kelakar uwaku saat aku iseng bertanya tentang arti nama itu. Kata kakek dan nenekku, uwaklah yang memberikan nama itu. Karena saat aku  lahir, bapak sedang tidak ada. Tentu  saja aku sangat kesal mendengarnya. Aku protes dan marah, tapi mereka malah menanggapinya dengan terkekeh. "Apalah arti sebuah nama?" ucap uwak saat aku sempat mengungkapkan rasa kesal  dan keberatanku padanya. Akupun sering mengungkapkannya pada emak. Emak adalah panggilanku pada perempuan setengah baya yang menjadi nenekku.
"Itu karena bapakmu memang suka bohong!" ucap emak saat mendengar cerita dan menanggapi kekesalanku. Saat itu hari minggu, seperti biasa Emak memintaku menumbuk adonan ketan yang nantinya akan di jadikan opak. Dalam seminggu, dua kali tugasku menumbuk adonan ketan menjadi bagenyel, hari minggu dan hari kamis pagi. Biasanya dari kobong aku langsung pulang, untuk membantu Emak. Aku tak pernah menolak, karena hasil mata pencaharian emak menjual opak aku pun menikmatinya, untuk biaya sekolah, dan membeli kitab-kitab untuk aku mengaji. Â Keseharianku, pagi-pagi sekolah, selepas sekolah biasanya aku membantu abah -kakekku- di sawah atau di tegal. Sore menjelang magrib, aku mengaji di kobong milik Kiayi Basri. Terkadang aku menginap di kobong bersama santri-santri yang memang tinggal di situ. Kebanyakan santri-santri Kiyai Basri datang dari kampung tetangga. Jumlah santri cukup banyak sekitar 20 orang. Terdiri dari 13 santri laki-laki dan 7 santri perempuan. Kalau kebetulan menginap, lepas salat subuh dan mengaji aku biasanya terburu-buru pulang, karena tugasku selanjutnya sekolah. Terkadang kalau emak membuat opak aku membantu emak menumbuk adonan opak. Aku cucu laki-laki paling besar yang tinggal bersama emak dan abah. Sejak kecil aku dan Utami tinggal bersama mereka. Orang tuaku bercerai, ibu pergi ke kota dan bapak sudah punya kehidupan baru, memiliki anak dan istri lagi.
"Memang kebohongan-kebohongan seperti apa yang telah bapak lakukan, Mak?" Tanyaku, sambil mengusap keringat yang berjatuhan. Terdiam sejenak dari kegiatanku menumbuk. Aku memegang alu yang tampak licin karena sering dipegang dan sedikit berlumur minyak kelapa.
"Ya banyak, di antaranya suka pinjem duit gak bayar-banyar, bisanya janji terus. Bapakmu juga suka menebar janji pada banyak perempuan hingga banyak yang menyusul sampai kemari, ada yang hamil tua, bahkan sudah punya anak. Kamu tahu kan, bahwa kamu punya adik-adik lain selain Utami. Itu ulah bapakmu." Aku mengangguk, ingat dengan beberapa perempuan yang pernah mencari-cari bapak.
Begitulah terus, nama Ahong aku sandang sampai sekarang, usiaku sudah menginjak 18 tahun. Kini aku pun sudah tak lagi memedulikan perihal nama itu. Tak ada gunanya, walau aku berkeras meminta teman-temanku, sepupu-sepupuku, uwak, bibi, dan paman, serta emak dan abah untuk memanggilku dengan nama yang tertulis di ijazah dan akta kelahirku, dan mereka tetap memanggilku dengan A-h-o-n-g. Nama lengkapku yang dipakai dalam kertas-kertas formal menurutku sebenarnya cukup keren. Adi Surya. Nama itu disematkan bapak saat mendaftarkanku masuk sekolah dasar. Aku suka nama itu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang aku baca di perpustakaan sekolah, artinya juga bagus. 'Adi' berarti unggul atau kuat, dan 'surya' berarti cahaya. Kalau kedua arti itu digabung menjadi 'cahaya yang kuat bisa juga berarti kekuatan cahaya'. Nama Adi Surya hanya berlaku di sekolah saja, walupun kalau ada teman sekolahku yang kebetulan bertetangga mereka lebih senang memanggilku Ahong. Aku tak lagi mempermasalahkannya. Walaupun sesekali aku tetap kesal, karena kelakuan bapak aku ikut menanggung akibatnya.
Selain aku dan Utami yang tinggal bersama abah dan emak, masih ada 3 cucu yang lain yaitu Arif, Sahil, dan Rani. Mereka anak-anak bibiku. Bibiku sendiri sudah satu tahun bekerja di Dubai sebagai TKW. Suaminya Wawan, entah kemana. Cuma sesekali menegok. Kabarnya dia telah menduakan bibiku, dengan menikahi seorang penyanyi dangdut.
Bibiku, bernama Santi. Sosok perempuan sabar, dan tak pernah sekalipun mengadu tentang perilaku suaminya pada emak atau pun abah. Diperlakukan bagaimanapun baginya suami nomor satu untuk selalu dipatuhi, dia menurut saja waktu Mang Wawan memintanya untuk jadi TKW. Bi Santi juga sebenarnya tahu kalau suaminya sudah menduakan cintanya. Berbeda sekali dengan ibuku, ibuku sosok perempuan yang tidak rela dipoligami. Ketika bapak mulai menebarkan pesonanya pada perempuan lain dia menentangnya, bapak yang dimabuk asmara tak peduli. Akhirnya ibu minta cerai, bapak pun menikah. Bapak membawa kami berdua dan meninggalkannya di gubuk emak dan abah.
***
Aku dibesarkan oleh emak dan abah, bapak dan ibuku hanya bisa bertahan bersama sampai aku berusia lima tahun dan Utami dua tahun. Setelah itu mereka asyik dengan dunianya sendiri. Aku dan Utami menjalani hari-hari dengan beban batin, iri dengan kebahagiaan teman yang punya keluarga utuh, sedikit perih dikala menyadari  bahwa hidup bagi kami jangan banyak mimipi, jangan muluk-muluk, apalagi  punya cita-cita tinggi. Bisa meneruskan ke SMA saja bagiku sebuah keajaiban. Saat di kelas X semester dua, aku hampir-hampir berhenti sekolah. Bapak hanya memberiku uang daftar ulang setelah aku dinyatakan lulus masuk SMA negeri itu. Sebenarnya tak hanya itu, bapak pun memberikanku motor bodong, sebagai alat transportasi karena sekolah yang aku masuki, tidak dilewati angkutan umum. Hanya ada ojeg. Hampir seluruh siswa bawa motor sendiri atau diantar. Alhamdulillah walaupun bodong motor itu masih terlihat gagah dan tak pernah mogok. Untuk uang bensin, kadang emak memberikan rutin untukku. Dengan risiko aku tak boleh  jajan di sekolah. Paling senang kalau aku dapat uang sendiri dari hasil kerja serabutan di antara waktu setelah pulang sekolah dan sebelum waktu mengaji ke kobong. Terkadang ada warga kampung yang memanfaatkan tenagaku, mencangkul di sawah, menanam pohon mahoni di tegalan, membersihkan tegalan dari rerumputan liar, membakar jerami sisa panen, atau sekadar mencari rumput untuk ternak sapi dan domba. Tidak ada kamus gengsi dalam diriku, entah mulai kapan, kata 'gengsi' itu hilang.
Berkat Bu Guru Ana, aku tetap bisa bersekolah sampai sekarang. Aku tak akan melupakan jasa Bu Ana padaku. Walau aku tahu dia masih berstatus sebagai guru honorer, dedikasinya terhadap profesinya sebagai guru sangat tinggi. Bukan hanya sekadar masuk kelas dan menjejaliku dengan ilmu bahasa dan sastranya, dia pun memberikan perhatian penuh pada kami tak terkecuali aku. Ketika aku mulai sering bolos, tiba-tiba saja dia muncul bersama kedua teman sekelas di gubukku yang reyot. Saat itu menjelang senja, aku baru saja selesai kuli memanen padi Mang Imron. Pulang ke rumah, dengan galas bambu yang dibebani dua karung gabah hasil kuli panen di pundakku. Aku sungguh terkejut ketika mendapati bahwa Bu Guru Ana ada di rumah. Jujur aku sedikit malu pada guru dan pada kedua temanku. Dengan keadaanku yang saat itu tak menentu, pakaian yang penuh lumpur, wajah yang merah dan legam karena terik matahari yang memanggang.
Setelah meletakkan galas dan sabit, aku menyalaminya, dan duduk agak jauh dari mereka di atas bale-bale bambu yang ada di teras rumah. Aku takut mereka mencium bau badanku. Aku menatap  Bu Ana, guru mudaku yang usianya tidak terpaut jauh denganku -menurut pengakuannya saat perkenalan pertama masuk kelas, usianya dua puluh tiga dan baru saja lulus dari kuliah kependidikan di sebuah perguruan tinggi negeri yang ada di Bandung-. Di mataku dia sangat anggun dan manis. Senyumnya selalu mengembang, bahasanya halus, penampilannya sopan dan menyejukkan. Dia mampu menenangkan Si Bengal Ronald, mampu menaklukan Si Pembangkang Rita yang menganggap Bu Ana sebagai saingan berat untuk mendapatkan perhatian Pak Budi, guru kimia yang sangat digandrungi Rita. Aku sangat beruntung dia menjadi wali kelasku.
"Sejak SMP, kalau musim panen begini saya memang suka bolos sekolah, Bu." ucapku memberi penjelasan mengapa aku tidak masuk hampir satu minggu.
"Ibu sudah tahu dari Emakmu tadi, tapi mengapa kamu mengaku sakit?" Aku menunduk, merasa bersalah karena telah menulis surat palsu yang kutitipkan pada Rina teman beda kelasku yang kebetulan bertetangga.
"Maafkan saya, Bu. Waktu panen seperti ini adalah kesempatan baik untuk saya bisa membantu emak dan abah. Dari kuli panen, saya bisa mengumpulan beberapa karung gabah untuk bekal kami makan". Semua orang terdiam, kulihat mata Bu Ana berkaca-kaca. aku tak mengharapkan belas kasihan darinya. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.
Keseokan harinya ketika aku bersekolah. Aku dipanggil pihak tata usaha, dan dimintai beberapa berkas-berkas yang berkenaan dengan diri dan keluargaku. Sebulan kemudian Bu Ana memberitahuku bahwa aku mendapat bantuan biaya sekolah. Dibebaskan dari SPP bulanan yang menurutku cukup mahal. Dan aku sangat bersyukur. Aku tahu ini pasti usulan Bu Ana pada pihak sekolah.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H