Aku dibesarkan oleh emak dan abah, bapak dan ibuku hanya bisa bertahan bersama sampai aku berusia lima tahun dan Utami dua tahun. Setelah itu mereka asyik dengan dunianya sendiri. Aku dan Utami menjalani hari-hari dengan beban batin, iri dengan kebahagiaan teman yang punya keluarga utuh, sedikit perih dikala menyadari  bahwa hidup bagi kami jangan banyak mimipi, jangan muluk-muluk, apalagi  punya cita-cita tinggi. Bisa meneruskan ke SMA saja bagiku sebuah keajaiban. Saat di kelas X semester dua, aku hampir-hampir berhenti sekolah. Bapak hanya memberiku uang daftar ulang setelah aku dinyatakan lulus masuk SMA negeri itu. Sebenarnya tak hanya itu, bapak pun memberikanku motor bodong, sebagai alat transportasi karena sekolah yang aku masuki, tidak dilewati angkutan umum. Hanya ada ojeg. Hampir seluruh siswa bawa motor sendiri atau diantar. Alhamdulillah walaupun bodong motor itu masih terlihat gagah dan tak pernah mogok. Untuk uang bensin, kadang emak memberikan rutin untukku. Dengan risiko aku tak boleh  jajan di sekolah. Paling senang kalau aku dapat uang sendiri dari hasil kerja serabutan di antara waktu setelah pulang sekolah dan sebelum waktu mengaji ke kobong. Terkadang ada warga kampung yang memanfaatkan tenagaku, mencangkul di sawah, menanam pohon mahoni di tegalan, membersihkan tegalan dari rerumputan liar, membakar jerami sisa panen, atau sekadar mencari rumput untuk ternak sapi dan domba. Tidak ada kamus gengsi dalam diriku, entah mulai kapan, kata 'gengsi' itu hilang.
Berkat Bu Guru Ana, aku tetap bisa bersekolah sampai sekarang. Aku tak akan melupakan jasa Bu Ana padaku. Walau aku tahu dia masih berstatus sebagai guru honorer, dedikasinya terhadap profesinya sebagai guru sangat tinggi. Bukan hanya sekadar masuk kelas dan menjejaliku dengan ilmu bahasa dan sastranya, dia pun memberikan perhatian penuh pada kami tak terkecuali aku. Ketika aku mulai sering bolos, tiba-tiba saja dia muncul bersama kedua teman sekelas di gubukku yang reyot. Saat itu menjelang senja, aku baru saja selesai kuli memanen padi Mang Imron. Pulang ke rumah, dengan galas bambu yang dibebani dua karung gabah hasil kuli panen di pundakku. Aku sungguh terkejut ketika mendapati bahwa Bu Guru Ana ada di rumah. Jujur aku sedikit malu pada guru dan pada kedua temanku. Dengan keadaanku yang saat itu tak menentu, pakaian yang penuh lumpur, wajah yang merah dan legam karena terik matahari yang memanggang.
Setelah meletakkan galas dan sabit, aku menyalaminya, dan duduk agak jauh dari mereka di atas bale-bale bambu yang ada di teras rumah. Aku takut mereka mencium bau badanku. Aku menatap  Bu Ana, guru mudaku yang usianya tidak terpaut jauh denganku -menurut pengakuannya saat perkenalan pertama masuk kelas, usianya dua puluh tiga dan baru saja lulus dari kuliah kependidikan di sebuah perguruan tinggi negeri yang ada di Bandung-. Di mataku dia sangat anggun dan manis. Senyumnya selalu mengembang, bahasanya halus, penampilannya sopan dan menyejukkan. Dia mampu menenangkan Si Bengal Ronald, mampu menaklukan Si Pembangkang Rita yang menganggap Bu Ana sebagai saingan berat untuk mendapatkan perhatian Pak Budi, guru kimia yang sangat digandrungi Rita. Aku sangat beruntung dia menjadi wali kelasku.
"Sejak SMP, kalau musim panen begini saya memang suka bolos sekolah, Bu." ucapku memberi penjelasan mengapa aku tidak masuk hampir satu minggu.
"Ibu sudah tahu dari Emakmu tadi, tapi mengapa kamu mengaku sakit?" Aku menunduk, merasa bersalah karena telah menulis surat palsu yang kutitipkan pada Rina teman beda kelasku yang kebetulan bertetangga.
"Maafkan saya, Bu. Waktu panen seperti ini adalah kesempatan baik untuk saya bisa membantu emak dan abah. Dari kuli panen, saya bisa mengumpulan beberapa karung gabah untuk bekal kami makan". Semua orang terdiam, kulihat mata Bu Ana berkaca-kaca. aku tak mengharapkan belas kasihan darinya. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.
Keseokan harinya ketika aku bersekolah. Aku dipanggil pihak tata usaha, dan dimintai beberapa berkas-berkas yang berkenaan dengan diri dan keluargaku. Sebulan kemudian Bu Ana memberitahuku bahwa aku mendapat bantuan biaya sekolah. Dibebaskan dari SPP bulanan yang menurutku cukup mahal. Dan aku sangat bersyukur. Aku tahu ini pasti usulan Bu Ana pada pihak sekolah.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H