Mohon tunggu...
Nur Jannah
Nur Jannah Mohon Tunggu... Guru - Guru Penulis

Hobi membaca fenomena dan menulis alam, memasak, travelling dan merencanakan masa depan anak negeri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Buma dan Duma

27 Maret 2023   06:18 Diperbarui: 27 Maret 2023   06:26 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Buma dan Duma

Di sebuah hutan yang sangat lebat, terdapat ratusan pohon yang sangat tinggi. Pohon-pohon itu memiliki banyak cabang yang bertingkat-tingkat dan daun-daunnya sangat lebar.

Pohon-pohon itu berwarna-warni. Ada yang warnanya merah, jingga, nila, kuning, biru, dan lain-lain. Daunnya pun tidak berwarna hijau saja, tetapi ada pula yang berwarna kuning, cokelat, merah muda dan ungu.

Banyak kupu-kupu beterbangan ke sana ke mari dalam hutan itu. Para kupu-kupu itu sangat senang tinggal di sana. Mereka memilih pohonnya masing-masing dan menjadikannya sebagai rumah tempat tinggal.

Akhirnya para kupu-kupu itu berkeluarga di sana. Mereka beranak pinak dan membentuk koloni tersendiri. Akhirnya area pepohonan beraneka warna itu dijadikan sebagai desa kupu-kupu. Desa ini berada di tengah-tengah hutan tersebut.

Di antara penduduk kupu-kupu itu ada sepasang sahabat bernama Duma dan Buma. Mereka sudah dekat sejak mereka masih menjadi telur-telur yang menggemaskan.

Ibu kupu-kupu meletakkan telur-telur mereka pada sehelai daun. Telur-telur itu sangat indah dan menggemaskan. Kedua ibu mereka selalu merawat mereka dengan baik. Lama-lama telur itu berubah menjadi ulat.

Saat menjadi ulat, Duma dan Buma berwarna sama-sama hijau. Kedua ibu mereka sangat senang. Mereka melata dari satu daun ke daun lainnya. Makanan utama mereka adalah daun. Tetapi daun yang dimakan Duma berbeda warnanya dengan Buma.  

Begitu setiap hari mereka makan daun-daun yang berlainan warna. Lama-lama, tubuh mereka menjadi gendut. Warna kulit mereka pun berubah seperti daun-daun yang mereka makan.

Duma merasa malu tubuhnya tak lagi hijau menggemaskan, tetapi menjadi hitam. Begitu juga Buma. Ia telah berubah kecoklatan.

Karena malu, akhirnya keduanya pun membungkus tubuh mereka dengan daun-daun.

Sepanjang waktu mereka tak mau makan apa-apa. Seolah-olah berpuasa. Mereka hanya tidur tak bergerak sama sekali. Tetapi sebelumnya, mereka tak lupa menggantungkan diri pada dahan.

Duma dan Buma ingin terlihat kurus lagi. Karena ternyata badan gendut membuat susah bergerak.

Berhari-hari mereka tidur dalam bungkusan daun. Hingga suatu hari mereka pun bangun. Duma merasa pegal seluruh badannya. Ia meregangkan tubuh. Ternyata daun yang membungkus tubuhnya sudah mengeras. Ia pun tak betah lagi berada di dalam sana. Ia berusaha keluar.

Akhirnya daun kepompong pun terlepas. Duma keluar dan bergerak-gerak. Tetapi ia merasa aneh karena tubuhnya tak lagi menginjak daun melainkan berlarian di tengah udara.

Saat ia menengok ke belakang, ternyata di punggungnya telah tumbuh sepasang sayap yang sangat indah. Sayap itu berwarna kuning cerah dengan bulatan-bulatan kecil berwarna hitam keungu-unguan.

Ia pun mengepak-ngepakkan kedua sayap yang indah itu. Tanpa terasa tubuhnya terdorong ke depan. Duma hampir jatuh tetapi ia sangat senang. Ia mencoba terbang kembali tanpa mengenal lelah. Akhirnya ia pun segera mahir terbang ke sana ke mari.

Dilihatnya sebuah kepompong lain bergerak-gerak di sebatang dahan. Ia memperhatikan kepompong tersebut. Ulat yang ada di dalamnya berusaha keluar.

Duma terbang mengitari kepompong itu. Seolah berdoa dan memberi semangat agar ulat di dalamnya segera berhasil keluar.

Tak berapa lama, ulat dalam kepompong itu benar-benar keluar.

"Aha, ternyata kau Buma sahabatku," ujar Duma senang.

Buma yang belum mengetahui apa yang terjadi mencoba membuka matanya.

"Di mana aku? Mengapa aku tak memijak daun?" tanyanya.

Buma lantas  memperhatikan sayapnya. Seperti Duma saat baru keluar tadi, Buma pun terkejut memandang belakang tubuhnya. Ada sayap berwarna merah muda dengan bintik-bintik putih di sana-sini.

Buma mengepak-ngepakkannya dan mulai belajar mengimbangi tubuh.

Duma menertawakannya.

"Mengapa kau menertawakanku, Duma?" tanya Buma marah.

"Karena wajahmu sangat ketakutan. Lucu sekali," sahut Duma terbahak-bahak.

"Ish," sergah Buma mencoba terbang menjauh.

Duma segera mengejarnya.

"Mengapa kau menjauh? Apakah kau marah padaku?" tanya Duma dengan wajah sedih.

"Ya tentu. Karena kau sombong sekali. Mentang-mentang sudah pandai terbang, malah menertawakanku," jawab Buma bersungut-sungut.

"Jangan marah, dong. Maafin aku deh," pinta Duma menyesal.

"Tidak, aku tak mau memaafkan," tegasnya.

Hal itu sangat membuat hati Duma bersedih. Duma berusaha menghilangkan kemarahan sahabatnya dengan cara memujinya.

"Wah, sayapmu indah sekali Bum," ujar Duma dengan tatapan senang.

Tapi Buma yang masih kesal menjawab malas.

"Tentu sayapku indah. Merah muda dengan bintik putih. Cantik, bukan?" tanyanya bangga.

"Betul, kau cantik sekali," jawab Duma dengan gembira mengira sahabatnya telah memaafkannya.

"Aku lebih cantik darimu. Sayapku lebih indah, tidak sepertimu jelek," sungut Buma.

Duma jadi bersedih lagi.

Tiba-tiba rombongan kucing hutan datang. Mereka ingin menangkap para kupu-kupu. Seluruh penduduk desa kupu-kupu panik.

Kucing-kucing liar itu bertubuh sangat besar dengan taring dan  kuku-kuku yang sangat tajam. Kumis da bulu mereka sangat kasar. Biji bola mata mereka pun kelihatan sangat menakutkan.

Mereka menangkapi dan mencengkeram kupu-kupu mana saja yang dapat mereka raih. Kupu-kupu yang lengah akan segera menjadi santapan mereka.

"Anak-anak, ayo segera sembunyi dalam rumah," teriak para ayah dan ibu kupu-kupu dengan panik dan takut.

Duma dan Buma pun segera terbang menuju rumah orang tua masing-masing.

Tetapi sayang, Buma yang baru belajar terbang pun tertangkap oleh salah satu kucing liar itu. Ayah dan ibu kupu-kupu sangat sedih tetapi mereka tak bisa berbuat apa-apa. Hanya mampu bersembunyi semakin dalam.

Tiba-tiba Duma marah melihat itu. Ia segera terbang keluar rumah.

"Duma, mau ke mana kamu?" teriak ibunya.

"Aku ingin menyelamatkan sahabatku, Bu," balas Duma berteriak pula.

Ayah ibu kupu-kupu membeku. Mereka tak mampu melarang Duma. Akhirnya mereka pun hanya dapat berdoa semoga Duma Dan Buma selamat.

"Hei, kucing jelek, lepaskan sahabatku," teriak Duma.

Kucing yang menangkap Buma menoleh ke asal suara. Ia merasa terganggu dengan dengung sayap Duma di telinganya.

"Ayo segera lepaskan. Mau kau apakan sahabatku?" teriak Duma lagi.

Dengan gagah berani, Duma terus terbang mengitari kepala sang kucing hutan.

Lama-lama kucing hutan menjadi berang dan berusaha menangkap Duma

"Syuuut ... syuuut ...!" suara kepak sayap Duma.

Duma terus menggoda si kucing liar.

Kucing itu terus berusaha menangkapnya dengan kedua tangan. Ia lupa kalau sebelah tangannya telah memegang Buma. Buma pun terlepas dari cengkeramannya. Kini kucing itu mengejar Duma.

"Buma, cepat masuk ke rumah ibumu," teriak Duma.

Dengan bergegas, Buma segera terbang menuju rumah ibunya.

Si kucing liar tak mampu memanjat pohon lebih tinggi lagi. Tubuhnya yang tambun jatuh ke tanah.

Beberapa saat kemudian rombongan kucing liar itu pergi.

Setelah suasana kembali aman, Duma dan Buma keluar sarang. Mereka saling berpelukan.

"Maafkan Buma ya, Duma. Tadi sudah marah-marah," ujar Buma menyesali perbuatannya.

"Tak apa, Bum. Bagaimana pun, kau adalah sahabat sejatiku. Untuk selamanya," sahut Duma tersenyum.

"Terima kasih sahabatku, untung ada kamu," kata Buma pada Duma.

Dan mereka pun terbang kembali ke sana ke mari dengan bahagia. Mulai saat itu, mereka saling membantu dalam berbagai situasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun