Di tepi jalan raya Cilincing ada jalan madya yang menuju ke pantai. Jalan itu diberi nama Jalan Kelapa Dua.
"Kenapa ya jalan ini dinamakan jalan kelapa dua?" tanya Vino padaku.
"Aku tak tahu. Mungkin karena dulunya banyak pohon kelapa yang tumbuh berpasangan," sahutku asal-asalan.
Aku pernah bertanya pada bunda, tapi bunda juga tidak tahu.
"Nanti sore kita ke sana, yuk," ajak Finza.
"Ayo," sahut Vino bersemangat.
"Kalian jangan lupa mampir ke warungku ya!" Tiba-tiba Awan menyela percakapan kami.
Rupanya kawanku itu mendengar apa yang kami rencanakan. Di sepanjang jalan itu memang banyak pedagang kaki lima berjualan.
Ada yang berjualan pakaian, mainan, dan aneka kue, dari kue pancong sampai roti bakar. Bermacam minuman juga tersedia. Ada es doger, es capuccino cingcau, es tebu, dan lain-lain.
Selain itu, di sana juga berjajar warung-warung makan dengan menu khas seafood bakar. Ada ikan bakar, kerang, udang, cumi, juga ketam atau yang lebih dikenal dengan sebutan kepiting.
Salah satu warung seafood bakar yang paling laris di tempat itu adalah milik orang tua Awan, Â temanku yang nama aslinya Abdul Latif. Entah kenapa nama panggilannya sangat jauh dari nama aslinya.
Yang jelas, temanku itu selalu membantu ayah dan ibunya berjualan seafood bakar di warungnya sepulang sekolah. Aku bersama ayah dan bunda sering ke sana untuk menikmati aneka hidangan laut. Harganya murah dan rasanya enak sekali.
Pukul 11.30 WIB.
Aku dan teman-teman masih berada di dalam kelas dan bersiap hendak pulang. Kami tengah mendengarkan penjelasan Bu Guru Astari yang baik hati. Kami sangat senang karena guru kami itu suaranya sangat lembut.
Tok tok tok!
Tiba-tiba pintu kelas diketuk dari luar. Bu Astari yang sedang menyampaikan kesimpulan pembelajaran hari ini segera membukanya.
"Permisi, Bu, saya ayah Awan. Mohon ijin mengajak Awan pulang karena ibunya baru saja kecelakaan," ungkap orang yang mengetuk pintu tadi dengan tergopoh-gopoh.
Rupanya itu ayah Awan. Kami semua lantas memandang ke arah Awan. Semuanya sangat terkejut. Dengan wajah sedih, Awan segera membereskan tas sekolah dan mengikuti ayahnya pulang setelah memperoleh ijin dari Bu Astari.
"Anak-anak, mari kita berdoa bersama untuk ibu dari teman kita Awan," kata Bu Astari dengan suara sedih.
Kami pun semua menundukkan kepala dan mengangkat kedua tangan meminta kepada Yang Maha Kuasa agar Mama Awan segera sembuh.
Sepulang sekolah, aku dan teman-teman berbincang-bincang.
"Kasihan ya, Awan. Dia pasti sedih sekali," ujar Vino.
"Betul, kita harus menjenguknya supaya dia tidak terlalu sedih," sahut Finza.
"Kalau begitu, bagaimana kalau sepulang sekolah kita ke rumahnya?" usul Biyan.
"Boleh-boleh. Tapi kita minta ijin dulu pada orang tua kita masing-masing," sahutku.
"Tapi jangan lupa, kita pun harus mengisi perut dulu. Jangan sampai kita datang menjenguk tetapi di sana malah merepotkan," ujar Vino menasehati.
"Benar juga kamu, Vin, kalau begitu kita janjian ke rumah Awan pukul satu siang saja, gimana?" jawabku kembali bertanya.
"Oke!" Ketiga temanku menjawab bersamaan.
Pada waktu yang dijanjikan, kami pun berkumpul dan bersama-sama menggowes sepeda ke rumah Awan.
Sampai di sana, Ayah Awan bercerita kalau Mama  Awan terjatuh dari motor saat pulang berbelanja. Saat itu gerimis tiba-tiba datang. Mama Awan diantar pamannya berboncengan. Tepat didepan BRI, paman Awan tak dapat mengendalikan motor akibat jalanan licin. Keduanya terjatuh di tepi trotoar. Untung banyak orang yang membantu.
Keduanya dilarikan ke rumah sakit terdekat. Ayah Awan pun segera datang sesaat setelah ditelepon.
Untung keduanya hanya luka sedang, tetapi mama Awan tak bisa membantu berjualan. Kasihan sekali temanku. Ia sangat sedih melihat mama dan pamannya luka di sana-sini.
"Wah, Awan kamu jadi tidak bisa berjualan dong?" tanya Vino.
"Iya, Vin," jawab Awan.
"Zabir, kita bantu Awan, yuk," ajak Finza.
"Membantu bagaimana?" tanyaku tak mengerti.
"Mama Awan kan tidak bisa jualan, jadi kita bantu Awan untuk menyiapkan dagangan," jelas Finza sambil menggamit tanganku.
"Wah, aku sih mau saja, tapi apa boleh sama ayah ibu kita?" tanyaku setelah berpikir beberapa saat.
"Aku pun belum meminta izin pada mamaku, tapi kurasa mamaku pasti mengizinkan," tegas Biyan.
"Baiklah, aku akan bertanya dulu pada bunda," jawabku akhirnya.
Kami meminjam ponsel Awan untuk meminta ijin pada orang tua masing-masing.
Awan sangat senang sekali dengan tawaran kami. Wajahnya yang murung jadi lebih ceria.
Kami membantunya menyiapkan aneka hewan laut itu. Membersihkan ikan, mengupas udang dan membuang tinta hitam dari tubuh cumi-cumi. Tak lupa menggosok kulit-kulit kerang dan ketam dengan sabut kelapa agar bersih saat dihidangkan nanti. Kulit kerang dan ketam itu sangat keras.
Seminggu kemudian Mama Awan sudah baikan. Ia sangat berterima kasih atas bantuan kami.
"Kalian sering-sering ya mampir ke sini, nanti ibu gratiskan makanan dan minuman di sini," kata Mama Awan.
Wah, senangnya. Sejak saat itu aku dan kawan-kawan sering memperoleh menu gratis bila mampir di warung seafood bakar milik Mama Awan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H