"Mba Ina. Bagaimana keadaan ibu?"
"Hi hi hibu hudah meninghang," katanya terbata-bata.
Apa? Ibu sudah meninggal? Spontan aku manangis. Mengapa lebih mementingkan pekerjaan ketimbang ibu.
Segera kukemasi baju seadanya. Malam itu juga aku pulang. Tak mengapa besok dipecat dari pekerjaan. Tak lupa kutelepon beberapa kerabat yang lain. Air mata tak hentinya menetes di pipi.
Tepat pukul 10.00 aku sampai. Sepi.
Dug dug dug.
 "Sineees ...!" teriakku menggedor pintu.
Setelah tiga kali berteriak, kulihat Sines keluar dengan mata masih mengantuk.
 "Mba Ina hatang ... Mba Ina hatang!"
"Iya, iya," teriakku melepaskan diri dari pelukannya.
"Kenapa kamu tega nggak mempertemukan aku dengan ibu?" Air mata terus membasahai pelupuk mataku.