Mohon tunggu...
Nur Jannah
Nur Jannah Mohon Tunggu... Guru - Guru Penulis

Hobi membaca fenomena dan menulis alam, memasak, travelling dan merencanakan masa depan anak negeri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mati Suri

26 Februari 2023   18:52 Diperbarui: 26 Februari 2023   18:58 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu.


"Aku berangkat dulu, ya. Assalamu 'alaikum." Dimasukkannya Al-qur'an kecil ke sakunya yang lebih sering terlihat ketimbang lembaran-lembaran uang yang aku harapkan.


Sambil melempar sebilah kayu yang sedari tadi dicarinya, aku setengah berteriak, "Jangan pulang kalau tidak membawa banyak uang!"


Tapi bentakanku hanya dijawab angin. Sore harinya seseorang mengetuk rumahku.


Tok! Tok! Tok!


"Siapa itu?" sahutku.

"Aku, Tuhan!"

Tuhan? Mau apa Tuhan datang ke rumahku? Ah, aku segera tersenyum. Pasti mau memberi rejeki atau berkat tertentu. Kebetulan penghasilan suamiku hanya cukup untuk membeli beras dan lauk ala kadarnya saja.

"Sebentar," sahutku sambil membetulkan kain. Lalu segera membuka pintu.

Betapa kagetnya aku melihat pemandangan di luar. Tuhan tidak datang sendiri. Ia bersama dengan rombongannya. Dua sosok hitam yang segera mengapit tanganku.

"Ayo bawa dia!"

"Eh, eh, sebentar, Tuhan. Mau dibawa ke mana aku?" tanyaku sambil berkerut kening.

"Kau harus pulang!"

"Ta-tapi ...."

Apakah ini sakaratul maut? Apakah Tuhan datang menjemputku untuk dibawa ke tempat yang banyak kenikmatannya dan aku bisa melupakan semua persoalan hidup dunia?

Tapi mengapa penampilan Tuhan dan rombongannya sangat menyeramkan? Apakah aku akan dimasukkan ke neraka? Tempat yang sangat tidak diinginkan oleh siapa pun?

Apakah kedua sosok yang memegangi tanganku dengan kencang ini adalah dua malaikat penjaga kubur, Munkar Nakir? Atau Malik penjaga pintu neraka? Siapa mereka?

"Ah, Tuhan maafkan aku, jangan ambil dulu nyawaku, aku belum siap pulang."

Tuhan tidak menjawab apa-apa. Sedangkan kedua sosok yang ada di sisiku terdiam, lalu menatap Tuhan dengan pandangan bertanya, seolah menanti jawaban atas pertanyaanku juga.

"Sudah, acuhkan perkataannya." Begitu jawab Tuhan.

Maka keduanya pun menyeretku ke arah jalan raya yang sepi senyap. Ya, tak ada siapa --siapa di sana yang bisa kumnita bantuannya. 

Tidak seperti hari-hari biasa yang banyak dilewati oleh orang-orang.

Aku kehilangan akal. Tak ada jalan keluar buatku. Kedua sosok di sampingku sangat kuat mencengkeram. Meski aku meronta-ronta tak ada pengaruhnya sama sekali buat mereka. Tuhan terus berjalan memimpin di depan.

Tiba-tiba sayup-sayup terdengar suara suamiku dari kejauhan.

"Sol! Sol! Sol! Sol sepatu!"

Itu suamiku tengah memikul kayu dengan dua kotak kecil di depan dan belakang. Tempat menaruh alat alat mengesolnya.

Ia mengusap keringat yang mencucur di dahinya. Kakinya beralas sandal yang lebih sepuluh kali dijahitnya sendiri karena tak sanggup membeli yang baru.

Tiba-tiba aku ingat semua perkataan kasarku kepadanya. Semua perlakuan kasarku buatnya. Yang semua itu tak pernah ditanggapinya. Dia menghibur diri dengan berzikir di musala samping rumah hingga menjelang malam.

Setiap hari ia juga melafaz zikir pagi dan petang. Yang selama ini sering kujadikan bahan memarahinya, karena kuanggap lebih senang duduk memutar tasbih ketimbang mencari uang lebih banyak lagi.

Suamiku menghadang kami. Segera kuutarakan kalimatku penuh ketakutan.

"Suamiku tolong aku, aku akan diajak Tuhan pergi, aku takut."

Suamiku tak berkata apa-apa. Tapi kulihat ia tersenyum. Perasaan bersalah dan berdosa tak bisa lagi kuungkapkan.

Aku menangis terguguk, terus menerus. Dan aku menatapnya dengan putus asa. Karena ia masih saja diam dan tak membelaku sama sekali. Hanya tersenyum saja. Membuat rasa bersalahku semakin menjadi-jadi.

Suamiku terus tersenyum. Ia menghampiriku. Menjulurkan tangannya mengusap ubun-ubunku.

"Suamiku, maafkan aku, tolong maafkanlah aku, kuakui aku durhaka padamu. Beri aku kesempatan lagi. Maafkan suamiku, maafkan suamiku, maafkaaan suamikuuu!"

Aku menangis meraung-raung. Seribu penyesalan tak akan pernah bisa mengungkapkan rasa sedihku saat ini yang begitu memuncak. 

Mengapa aku selalu menyia-nyiakan kepemimpinan suamiku yang saleh.

"Suamikuuu, ampuni akuuu ...."

Tiba-tiba seberkas sinar keluar dari tubuhnya. Sinar putih yang sangat terang. Nampak wajahnya begitu berbinar. Suamiku berbahasa pada Tuhan tanpa kata-kata.

Kejadian itu berlangsung sekitar sepuluh menit atau lebih. Dan selama itu pula sinar putih terang itu semakin benderang. Aku menanti sambil terus sesenggukan.

Akhirnya Tuhan berkata, "Lepaskan dia. Lepas dia yang telah mendapat ridha suaminya."

Blas!

Dalam waktu sepersekian detik saja kedua sosok hitam yang memegangiku langsung hilang. Lalu Tuhan pergi.

Kuraih suamiku. Tapi aku terjatuh melumpruk. Dahiku mencium tanah. Seluruh sendi dan tulang belulangku seakan lepas. Aku seperti tak punya rangka.

Kucoba berdiri sekuat tenanga tapi aku tak mampu. Ingin sekali kuraih suamiku. Kucoba sekali lagi. Kuangkat tangan kananku dan berusaha menarik ujung kemeja dekilnya. Tapi tanganku jatuh kembali sebelum mencapai setengah meter dari tanah. Lalu kucoba maju beringsut sambil memanggil-manggil namanya.

"Suamiku, suamiku!"

Tapi semakin kugapai ia semakin jauh, padahal kulihat ia beriri tepat di atasku.

"Suamiku, suamiku." Bibirku terus mengulang-ulangnya.

Akhirnya aku menyerah. Sudah tak ada lagi sedikit pun kekuatan yang kumiliki. Astaghfirullahal azim, Laa haula wala quwwata illa billahil 'aliyyil 'aziiiim .... Kalimatku berakhir seiring tubuhku tertidur di jalan .
*
Mataku terpejam tapi kudengar suara suamiku melantunkan ayat suci alqur'an. Beberapa menit kemudian. Sebuah kekuatan gaib mengangkat tubuhku yang lunglai . Diarahkan ke atas dua tangan suamiku.

Kedua lenganku terayun-ayun menjulur ke bawah tanpa tenaga, begitu juga kepalaku terdongak karena sudah lemas dan tak sanggup tegak lagi . Suamiku membawaku pulang dengan membopongku sekaligus memikul sebilah kayu yang tadi pagi kulemparkan ke arahnya.

Lalu aku pun terbangun dengan tubuh terselimuti kain dan dikelilingi banyak orang di rumahku sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun