Suamiku terus tersenyum. Ia menghampiriku. Menjulurkan tangannya mengusap ubun-ubunku.
"Suamiku, maafkan aku, tolong maafkanlah aku, kuakui aku durhaka padamu. Beri aku kesempatan lagi. Maafkan suamiku, maafkan suamiku, maafkaaan suamikuuu!"
Aku menangis meraung-raung. Seribu penyesalan tak akan pernah bisa mengungkapkan rasa sedihku saat ini yang begitu memuncak.Â
Mengapa aku selalu menyia-nyiakan kepemimpinan suamiku yang saleh.
"Suamikuuu, ampuni akuuu ...."
Tiba-tiba seberkas sinar keluar dari tubuhnya. Sinar putih yang sangat terang. Nampak wajahnya begitu berbinar. Suamiku berbahasa pada Tuhan tanpa kata-kata.
Kejadian itu berlangsung sekitar sepuluh menit atau lebih. Dan selama itu pula sinar putih terang itu semakin benderang. Aku menanti sambil terus sesenggukan.
Akhirnya Tuhan berkata, "Lepaskan dia. Lepas dia yang telah mendapat ridha suaminya."
Blas!
Dalam waktu sepersekian detik saja kedua sosok hitam yang memegangiku langsung hilang. Lalu Tuhan pergi.
Kuraih suamiku. Tapi aku terjatuh melumpruk. Dahiku mencium tanah. Seluruh sendi dan tulang belulangku seakan lepas. Aku seperti tak punya rangka.