Kucoba sedikit menguji, dan benar saja, caci maki dan sumpah serapah masuk ke telinga. Ah, aku jadi takut berumah tangga lagi. Kini, aku masih masak dan mencuci baju sendiri di rumahku yang besar di kompleks perumahan megah ini.
Jika sedang kesepian, kuikuti saran teman-teman untuk jalan dengan wanita bayaran. Sekadar menemani makan malamku. Memang sih uangku habis. Tapi setidaknya aku terhindar dari kesepian.
Sebagai hiburanku hanya bekerja, main catur dan menulis puisi. Ada ekstasi tersendiri kala puisiku diapresiasi. Kebetulan ada komunitas penyuka puisi di dunia maya. Kutuang semua amarah dan rasa kecewa. Dan aku cukup pandai merangkai kata demi kata. Sehingga beberapa wanita jatuh simpati padaku.
Dari sini aku memulai petualangan baru. Kusapa mereka secara berkala. Semua itu sangat menghibur hatiku. Sejenak lupa dengan masa lalu.
Namun sayangnya, para wanita itu terlalu berharap padaku. Padahal aku hanya ingin senang-senang saja. Mereka malah serius.
Dan sekali saja kulupa menyapa mereka, entah karena sibuk kerja atau tengah lelah, caci maki kembali mendarat di telinga.
Pada wanita seperti itu mudah saja bagiku memutuskan pertemanan. Toh, aku atau ia tak dirugikan secara materi. Namun mungkin buat mereka menjadi pelajaran berharga. Agar tidak menerima sapaan lewat udara dengan serius lagi.
Tapi wanita itu perasaannya mendahului akalnya. Sehingga kadang tertutup oleh emosi.
Tak terasa waktu terus berlalu. Tiba-tiba saja kulihat seuntai uban kala bercermin. Ah, apa iya? Berapa saat ini usiaku? Terlalu sibuk mencaci maki takdir.
Kini, kurasakan kekosongan dalam jiwa. Tak ada istri yang setia, tulus, mau menerimaku apa adanya. Aku masih saja menyetrika bajuku sendiri setiap akan menuju kantor.
Ah, entah sampai kapan kujalani hidup macam ini. Mungkin saatnya aku kembali pada Tuhan. Memilih satu yang terbaik di antara mereka untuk melayaniku hingga tutup usia.