Sakitnya Tuch Di Sini!
Sebagai pria paruh baya dan hidup sendiri, aku merasa membutuhkan istri. Sudah pernah sekali berumahtangga, dulu.Dia meninggalkanku membawa serta putra tunggal kami.
Bukannya aku tak mau menemui anak satu-satunya. Tapi jijik membuatku mual setiap melihat wajah ibunya. Istri macam apa yang meninggalkan suami di kala lemah. Terpesona oleh kemapanan laki-laki lain.
Memang betul secara agama sah saja jika ia menggugat-ceraiku. Namun, sebagai orang yang pernah menyayangi, memiliki anak pula, rasanya batinku tak terima diperlakukan begini.
Kucoba perbaiki diri. Dipicu oleh amarah setiap ingat penghianatannya, akhirnya kini berhasil memiliki pekerjaan tetap. Menjadi karyawan di sebuah perusahaan negara. Rumah dan mobil pun berhasil kubeli.
Rasanya ada kebanggaan tersendiri saat aku sampai di titik ini. Saat dulu mantan istriku menuntut.
Namun sayang, sangat jauh terlambat. Rasa sakit hati ini tetap saja tak mau pergi.
Beberapa teman dan sahabat sering mengingatkan, takdir harus diterima ikhlas. Takdir tak ditulis tangan sendiri. Namun entah mengapa, masih saja ada perasaan kecewa dan sakit hati tiap ingat mengapa dulu aku harus jatuh. Lalu ditinggal oleh impianku yang sudah tergenggam di tangan.
Tuhan, ampuni aku. Terlalu pedih mengingat masa laluku.
Sudahlah, kucoba berkenalan dengan beberapa wanita. Ini sedikit menghibur hati. Namun setiap hubungan mulai serius, mereka mulai saja menunjukkan sifat persis mantan istriku, matre.
Aku jadi berpikir dua kali. Jangan-jangan wanitaku berikutnya akan lebih parah dari mantan istriku.
Kucoba sedikit menguji, dan benar saja, caci maki dan sumpah serapah masuk ke telinga. Ah, aku jadi takut berumah tangga lagi. Kini, aku masih masak dan mencuci baju sendiri di rumahku yang besar di kompleks perumahan megah ini.
Jika sedang kesepian, kuikuti saran teman-teman untuk jalan dengan wanita bayaran. Sekadar menemani makan malamku. Memang sih uangku habis. Tapi setidaknya aku terhindar dari kesepian.
Sebagai hiburanku hanya bekerja, main catur dan menulis puisi. Ada ekstasi tersendiri kala puisiku diapresiasi. Kebetulan ada komunitas penyuka puisi di dunia maya. Kutuang semua amarah dan rasa kecewa. Dan aku cukup pandai merangkai kata demi kata. Sehingga beberapa wanita jatuh simpati padaku.
Dari sini aku memulai petualangan baru. Kusapa mereka secara berkala. Semua itu sangat menghibur hatiku. Sejenak lupa dengan masa lalu.
Namun sayangnya, para wanita itu terlalu berharap padaku. Padahal aku hanya ingin senang-senang saja. Mereka malah serius.
Dan sekali saja kulupa menyapa mereka, entah karena sibuk kerja atau tengah lelah, caci maki kembali mendarat di telinga.
Pada wanita seperti itu mudah saja bagiku memutuskan pertemanan. Toh, aku atau ia tak dirugikan secara materi. Namun mungkin buat mereka menjadi pelajaran berharga. Agar tidak menerima sapaan lewat udara dengan serius lagi.
Tapi wanita itu perasaannya mendahului akalnya. Sehingga kadang tertutup oleh emosi.
Tak terasa waktu terus berlalu. Tiba-tiba saja kulihat seuntai uban kala bercermin. Ah, apa iya? Berapa saat ini usiaku? Terlalu sibuk mencaci maki takdir.
Kini, kurasakan kekosongan dalam jiwa. Tak ada istri yang setia, tulus, mau menerimaku apa adanya. Aku masih saja menyetrika bajuku sendiri setiap akan menuju kantor.
Ah, entah sampai kapan kujalani hidup macam ini. Mungkin saatnya aku kembali pada Tuhan. Memilih satu yang terbaik di antara mereka untuk melayaniku hingga tutup usia.
Bukan tak terpikirkan olehku. Namun wanita itu masih kucari dalam hidup yang kini entah berapa lama lagi tersisa. Entahlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H