Sore itu aku melihatmu memeluk lelaki legam itu. Aku sangat cemburu, tapi bisa apa? Meski kulit pria itu hitam sekali akibat pekerjaannya sebagai operator forklift, yang membuatnya harus rela berpanas-panas di tengah lapangan, namun kau sangat mencintainya.
"Aku pergi dulu ya, Sayang," katanya sambil mengusap-usap pelan punggungmu.
"Sing ngati-ati ning tempat makaryo, yo Mas." Suaramu lembut terseling isakan.
Laki-laki itu pun mengangguk lalu menaiki motor RX King keluaran empat tahun lalu miliknya. Ia sempatkan menoleh padamu sebelum kemudian menggasnya kencang-kencang.
Tiga bulan berlalu. Kau pun sudah aktif lagi bekerja di apotek. Aku sangat bahagia. Hanya di sini aku bisa mengusap wajahmu dengan leluasa, dan kau terus menciumku sepanjang pekerjaanmu.
"Yang, anakku mau ujian, aku harus menitipinya bayaran buat sekolah dan juga biaya hidupnya sama bibinya. Boleh nggak nanti aku pinjam dulu uangmu?"
"Untuk Ufi, Mas? Hmmm, nggak masalah. Berapa?"
Keterlaluan! Dia menyebutkan sejumlah uang yang bagimu sangat kecil nilainya. Kau tampaknya kasihan pada suamimu yang gajinya tak seberapa, sedang ia punya seorang anak yang dititipkan pada mbaknya di kampung.
"Nggak usah pinjem, Mas. Uangku ya uangmu juga, rejekiku ya rejekimu juga," katamu waktu itu. Lalu laki-laki itu mencium pipimu.
Lain waktu Mas Legam menelepon. Motornya yang keluaran empat tahun lalu mogok di jalan. Padahal dia sedang ditunggu di tempat kerja. Iapun minta dikirimi uang untuk naik taxi.
Kau serta merta mentransfer sejumlah uang untuk ongkos ke proyek. Sekalian untuk membayar ongkos biaya selama motornya ditaruh di bengkel beberapa hari.