Mohon tunggu...
Nur Janah Alsharafi
Nur Janah Alsharafi Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang ibu yang menyulam kata dan rasa dalam cerita

ibu 4 anak dengan sejumlah aktivitas . Tulisan-tulisan ini didokumentasikan di blog saya : nurjanahpsikodista.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Amanda

23 Desember 2019   10:37 Diperbarui: 23 Oktober 2020   00:31 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MASA KECIL

Bola mata berbinar, bibir merah, pipi merona adalah ciri khas Amanda anakku. Setiap ekspresi wajahnya seperti simponi indah yang hadir menghangat di tengah suasana apapun. Amanda adalah sebuah anugerah bagiku, Allah swt mengirimkan Amanda  buatku dalam sebuah keranjang merah yang ditinggalkan begitu saja entah oleh siapa.

Aku ingat persis keranjang merah itu, sebuah keranjang rotan yang dipoles cat minyak yang kasar seperti tergesa-gesa sapuannya. Aku ingat sore itu langit memerah, sore itu pula sepuluh pot bunga mawar di halaman rumah bermekaran dan sore itu pula Amanda hadir tanpa salam dan rencana sedikitpun. Aku, perempuan  tigapuluh tahun yang memutuskan hidup melajang merasa mendapat anugerah yang tak ternilai..................Amanda.

Amanda Rossa Utomo, itu yang tertulis di atas selimut putih bersih yang membungkus tubuhnya. Nama itu kusimpan di lemari sekaligus kupatri di hati. Bagiku kehadiran Amanda adalah anugerah, namun bagi  ibu ini adalah musibah.

"Rin, serahkan saja ke pihak yang berwajib"

"Rin, terlalu beresiko merawat anak yang tak jelas nasabnya"

"Rin , kamu apa tidak takut jangan-jangan anak ini ada kaitannya dengan dunia hitam"

Ibu terlalu bertubi-tubi mengungkapkan kekhawatirannya. Namun entah mengapa ? Semakin aku dijauhkan dengan Amanda, aku makin merasa sayang dengan anak ini.

Dan kasih sayangku semakin bertambah dari waktu ke waktu. Rajutan cinta yang makin lama makin kuat, rajutan hati seorang ibu usia tigapuluhan dengan bayi mungilnya yang cantik...................Amanda.

REMAJA

Amanda bertumbuh makin remaja.   Cintaku pada Amanda benar-benar dirajut dengan bumbu ibu sejati. Pemikiran, perasaan dan perilaku tentang hidup dan kehidupan bahkan telah kukurung di sangkar sosok Amanda. Dalam kamus hidupku tak pernah lagi teragendakan untuk menjalin cinta apalagi untuk menikah.

Halaman buku keduniaanku sebagian besar telah disita oleh Amanda.  Meksipun Ibundaku  yang makin renta ingin menyaksikanku menikah dan memiliki anak sendiri, namun agenda tersebut telah terhapus dalam memoriku. Bagiku, Amanda adalah sosok amanah sang Khaliq untukku. Untuk seorang perempuan lajang yang mapan dan tak sedikitpun memikirkan pernikahan.

Tak ada yang tahu mengapa aku jadi polos dan naif menghadapi semua hal tentang Amanda. Polos  dan lugu, sehingga aku cuma bisa angguk angguk dan setuju ketika Amanda terpilih untuk mendapatkan beasiswa penuh dari  sebuah perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang merekrut calon mahasiswi dan mahasiswanya dari sekolah ke sekolah.

Pencarian bibit unggul ini diawali dengan sebuah iklan yang dipasang melalui sosial media. Terpampang indah di iklan tersebut bahwa negara sedang mencari bibit unggul untuk menempuh pendidikan mahasiswa berbakat.

Kabarnya para kandidat pada tahun kedua diperbolehkan menempuh studi di perguruan tinggi mana saja di dalam negri. Meskipun tahun pertama akan diisi dengan pendidikan khusus yang dilaksanakan secara ketat dan disiplin.

Pendidikan khusus untuk para bibit unggul negri, itu yang selalu kusampaikan kepada siapapun tentang pendidikan putriku Amanda. Pada akte kelahiran  , ijazah maupun dokumen lainnya Amanda tetap kudaftarkan dengan nama Amanda Rossa Utomo.

Meski cintaku lahir batin padanya selayaknya seorang ibu kandung , namun masih terbersit di hati kecilku agar Amanda suatu saat bertemu dengan orang tua kandungnya. Kini Amanda melangkah menuju dewasa, ia segera mengikuti pendidikan khusus  yang telah ia menangkan beasiswanya tersebut.

Satu hari setelah berangkat menuju asrama , Amandaku terasa terbang entah kemana. Apakah ini pendidikan khusus yang benar-benar khusus. Sehingga Amandaku yang ceria dan rajin menyapa aku mamanya tiba-tiba  hilang ditelan bumi.

Tiada berita apalagi sapa. Dimana kamu Amanda ?  Hati mama seperti bilik penjara, makin lama makin sunyi, seram dan mencekam. Mama galau, bercampur aduk rasa sedih, cemas, khawatir, gelisah, pilu terasa beraduk  dalam bejana gulana tak menentu.

Menghitung hari, barangkali itulah yang tepat. Seperti pesakitan di bilik pengap, aku cuma bisa mencoret jumlah hari-hari Amanda meninggalkan rumah . Ketika coretan makin membumbung jumlahnya tepatnya setelah 8 bulan berlalu , aku baru disiram sejuk oleh sebuah pesan di ponselku. "Mama, apakabar ? ini Amanda ma, Amanda baik-baik saja disini

Amanda bersyukur terpilih jadi salah satu kader istimewa negri ini. Mama sabar ya, tak lama lagi Amanda pulang. Hanya beberapa bulan lagi ya ma. Peluk cium buat mama. Love -- Amanda Rossa utomo". Aku bahagia, namun bahagiaku tercemar limbah duka . Bahagiaku seperti tercekat diujung tenggorokan, bagai batuk parah yang tak tertuntaskan. Amanda, Amanda.........mama rindu sayang.

Aku tetaplah aku, perempuan tegar yang pandai mengolah rasa duka dan menyimpannya dalam bejana. Sehari-hariku tetaplah berjalan seperti biasa. Aku tak pernah menumpahkan duka dan kegalauanku tentang Amanda pada siapapun termasuk ibu.

Jika ibu bertanya tentang Amanda, aku hanya menjawab bahwa ia baik-baik saja. Ini berlangsung cukup lama, sejak Amanda melangkahkan kakinya ke asrama.  Namun kali ini kegalauan itu makin mebumbung tinggi, menyusupi bergumpal awan resah dan cemas yang makin pekat dan menghitam.

Meski sejak awal aku siap tentang kejadian ini, namun kesiapanku ternyata belum tuntas . Kesiapanku belum ada topping ikhlas. Ini terjadi ketika Amanda mengirimkan kembali pesan keduanya melalui telegram . "Mama, seminggu yang lalu aku dipanggil Pimpinan tinggi Sekolahku, Bapak Utomo namanya.

Awalnya ia tak mengenalku ma. Ia memanggil dan mewawancarai aku setelah aku terpilih sebagai pemenang pertama duta mahasiswa untuk utusan ke Konferensi di salah satu Negara di Eropa.  Ia mewawancarai aku ma, bahkan lebih tepat menginterograsi. Ia usut asal usulku, termasuk mengapa aku menyandang nama Utomo.

Saat itu aku Cuma bilang bahwa itu nama papaku, dan papaku pergi taka da kabar berita. Maafkan aku ya ma, aku cuma mengulang cerita mama. Itu yang selalu mama ucapkan jika aku bertanya tentang papa.

Pak Utomo aneh ma, ia bertanya apakah aku punya tanda merah di paha kananku. Aku takut ma, tanda merah itu memang ada namun aku hanya diam tak sanggup menjawabnya. Ma, doakan Amanda ya ma. Amanda sayang mama banyak-banyak. Peluk cium putrimu -- Amanda "

Pesan itu membuat ruh-ku serasa terbang tinggalkan jasad, gundahku memuncak setinggi gunung. Resahku seperti ombak tergulung-gulung. Tiba-tiba aku limbung, aku yang tegar terasa rapuk bagai kerupuk. 

Aku yang kuat terasa lemah lunglai tak sanggup berandai. Pijakanku di bumi terasa lepas, cuma senandung istighfar yang masih sanggup kuatkan.

Ya Allah,  haruskah aku kehilangan Amanda

Ya Allah , haruskah putri jiwaku hilang dari hidupku

Ya Allah, benarkah itu ayah kandung Amanda

Ya Allah, kuatkan hambaMu yang lemah

Ya Allah, tegarkan diriku yang susah

Tiba-tiba azan berkumandang, ruh-ku terasa menyatu padu dalam diri. Aku berwudhu. Air wudhu terasa membelai tiap pori kulitku. Suara azan merasuki relung-relung kegundahanku.  Sajadah panjang kugelar, mukena lembut meyelimuti tubuhku. Aku tersungkur, aku pasrah pada taqdir-Nya

Berastagi, 23 Desember 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun