Jika ibu bertanya tentang Amanda, aku hanya menjawab bahwa ia baik-baik saja. Ini berlangsung cukup lama, sejak Amanda melangkahkan kakinya ke asrama. Â Namun kali ini kegalauan itu makin mebumbung tinggi, menyusupi bergumpal awan resah dan cemas yang makin pekat dan menghitam.
Meski sejak awal aku siap tentang kejadian ini, namun kesiapanku ternyata belum tuntas . Kesiapanku belum ada topping ikhlas. Ini terjadi ketika Amanda mengirimkan kembali pesan keduanya melalui telegram . "Mama, seminggu yang lalu aku dipanggil Pimpinan tinggi Sekolahku, Bapak Utomo namanya.
Awalnya ia tak mengenalku ma. Ia memanggil dan mewawancarai aku setelah aku terpilih sebagai pemenang pertama duta mahasiswa untuk utusan ke Konferensi di salah satu Negara di Eropa. Â Ia mewawancarai aku ma, bahkan lebih tepat menginterograsi. Ia usut asal usulku, termasuk mengapa aku menyandang nama Utomo.
Saat itu aku Cuma bilang bahwa itu nama papaku, dan papaku pergi taka da kabar berita. Maafkan aku ya ma, aku cuma mengulang cerita mama. Itu yang selalu mama ucapkan jika aku bertanya tentang papa.
Pak Utomo aneh ma, ia bertanya apakah aku punya tanda merah di paha kananku. Aku takut ma, tanda merah itu memang ada namun aku hanya diam tak sanggup menjawabnya. Ma, doakan Amanda ya ma. Amanda sayang mama banyak-banyak. Peluk cium putrimu -- Amanda "
Pesan itu membuat ruh-ku serasa terbang tinggalkan jasad, gundahku memuncak setinggi gunung. Resahku seperti ombak tergulung-gulung. Tiba-tiba aku limbung, aku yang tegar terasa rapuk bagai kerupuk.Â
Aku yang kuat terasa lemah lunglai tak sanggup berandai. Pijakanku di bumi terasa lepas, cuma senandung istighfar yang masih sanggup kuatkan.
Ya Allah, Â haruskah aku kehilangan Amanda
Ya Allah , haruskah putri jiwaku hilang dari hidupku
Ya Allah, benarkah itu ayah kandung Amanda
Ya Allah, kuatkan hambaMu yang lemah