Rembulan dan Surga , seolah sebuah sibling goals antara aku dan Ida yang tak pernah kuceritakan pada siapapun sebelumnya. Impian dua gadis kecil yang polos apa adanya, hingga kini masih terpatri dalam ingatan. Rembulan dan Surga, bisa sebuah makna harafiah saja. Namun juga bisa memiliki makna yang lebih hakiki berupa karya nyata selama nafas masih ada. Saat itu aku lihat wajah Ida bercahaya, bukan hanya karena bermandikan cahaya rembulan. Namun wajah Ida benar-benar bercahaya yang menyeruak dari relung jiwa bocah tulusnya yang paling hakiki.
Abah (ayahanda kami) mengajakku dan Ida untuk potong rambut dan membeli peralatan sekolah. Sepeda motor besar yang dipakai Abah sangat lebih dari cukup untuk memboncengkan dua bocah kecil seperti kami berdua. Aku dan Ida sama-sama mengenakan rok berwarna merah, kaos kaki berenda dan sepatu panshoes hitam berpita merah. Tak lupa Ida berkali-kali mematut di depan kaca sebelum berangkat.
"Mbak, apakah aku sudah ayu?"
"Mbak, apakah aku sudah pantas masuk sekolah?"
Aku Cuma mengangguk tanda setuju dan tersenyum serta secepatnya menggandeng Ida ke halaman rumah karena abah sudah membunyikan klakson motor gede nya beberapa kali.
Bertumpuk buku, kotak pensil, tas, alat tulis, baju seragam, sepatu dan berbagai perlengkapan sekolah. Setelah maghrib dan mengikutiku sholat dan berdoa, doa Ida pun terucap tentang keinginannya untuk segera sekolah. Bagi Ida, sekolah adalah sebuah impian yang akan menghantarkan cita-citanya setinggi rembulan. Sekolah akan membuatnya pintar sehingga ia bisa terbang ke rembulan.
"Aku mau sekolah yang tinggi biar aku bisa terbang tinggi"
Itu selalu yang terucap di mulut Ida. Sekolah dan rembulan seolah sepasang cita-cita yang berpelukan erat di dalam jiwanya. Malam itu Ida habiskan dengan lelap tertidur diantara bantal, guling dan buku-buku serta perlengkapan sekolah lainnya. Wajah Ida jernih, wajah Ida bersih seolah mengalir bulir bulir kasih di setiap pori pori tubuhnya.
Pagi itu aku sedang mandi ketika seisi rumah tiba-tiba kalut dan kalang kabut. Aku hanya memakai kembali baju tidurku untuk kemudian lari keluar rumah. Api menyulut dan meninggi, semua orang panik. Seolah kiamat kecil tengah terjadi. Abah berlari kesana kemari, ibuku mengabsen kami anak-anaknya. Ibu mengabsen para asistennya. Seolah lengkap namun kemana Ida, kemana Farida AlSharafi  adikku yang ayu ?  Kemana wajah rembulan itu ?
Ibu histeris, menangis tersedu sedu. Aku hanya bengong dan mengeluarkan air mata tanpa suara. Ida......Ida......Ida. Mas  Har, Mbak Nanik, Mas Arifin dan Mbak Tatik menenangkan kami. Mas Umar nekad masuk di kobaran api untuk menyelamatkan Ida. Mas Umar yang pemberani itu gak takut oleh panasnya api, Ida harus selamat. Kami semua harap harap cemas menunggu. Mas Umar kembali dengan lesu, wajah hangus bermandi jelaga. Jasad Ida terbakar bersama peralatan sekolahnya.  Ida terbang menuju rembulan, Ida kembali ke surga. Innalilahi wainna ilaihi raji'un, Alfatihah buat almarhumah Farida binti Yazid AlSharafi.................................
Memory di suatu masa di Kampung Sorogenen-Surakarta