Image diambil dari : muslim.or.id
"Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radiallahuanhu, pembantu Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam dari Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, beliau bersabda: Tidak beriman salah seorang diantara kamu hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri" Â (Hadist Riwayat: Bukhari dan Muslim)
Menatap rembulan di kala purnama penuh selalu mengingatkanku akan Ida. Ida, demikian panggilan sayang kami sekeluarga pada adik perempuanku yang ayu dan baik hati. Sepertinya Ida memang dilahirkan untuk menjadi ahli surga, hingga sang Khaliq tak rela ida berlumur dosa dan memanggilnya kembali dalam usia dini   ( belum genap 5 tahun).
"Mbak nur, aku ikut"
"Mbak nur, aku ikut"
Demikian selalu yang terucap dari bibir mungilnya yang berwarna merah dadu , bibir kecil yang indah ketika mengucapkan bismillah. Jika aku hendak pergi bermain di luar rumah , Ida selalu mengucapkan kalimat itu. Padahal aku hanya sesaat pergi bermain. Permainan sederhana bocah bocah cilik seusiaku dan waktu itu Ida yang lebih muda usianya dariku. Ida mengikutiku kemana aku bermain, dari permainan dakon (congklak), jamuran hingga petak umpet. Tentu saja Ida hanya sekedar menjadi anak bawang saja karena ia masih sangat kecil dibanding usiaku dan teman-temanku. Ida akan berjalan dan berlari sambil menggandeng tanganku. Aku tertawa, Ida juga ikut tertawa walaupun harus pulang dengan penuh keringat dan debu. Di rumah aku dan Ida harus berurusan dengan ibu dan para asistennya yang akan memaksa kami untuk mandi dan berganti baju.
Suatu hari aku dan Ida duduk di depan rumah, waktu itu aku sudah kelas nol besar dan Ida akan mendaftar kelas nol kecil. Ia bicara dengan bahasa bocah yang sangat polos. Baju babydoll berbunga bunga pink berwarna sama antara aku dan Ida, membuat kami selayaknya anak kembar saja.
"Mbak Nur, lihat bulan itu mbak"
"Aku ingin kesana, pasti disana indah sekali ya mbak"
"Iya Ida, mungkin disana lebih dekat ke surga. Dan kita enak sekali berada disana"
"Mbak janji ya, suatu saat kita akan bersama disana. Kalau Ida lebih dulu terbang ke bulan dan surga, mbak mesti sering baca doa buat Ida".
Rembulan dan Surga , seolah sebuah sibling goals antara aku dan Ida yang tak pernah kuceritakan pada siapapun sebelumnya. Impian dua gadis kecil yang polos apa adanya, hingga kini masih terpatri dalam ingatan. Rembulan dan Surga, bisa sebuah makna harafiah saja. Namun juga bisa memiliki makna yang lebih hakiki berupa karya nyata selama nafas masih ada. Saat itu aku lihat wajah Ida bercahaya, bukan hanya karena bermandikan cahaya rembulan. Namun wajah Ida benar-benar bercahaya yang menyeruak dari relung jiwa bocah tulusnya yang paling hakiki.
Abah (ayahanda kami) mengajakku dan Ida untuk potong rambut dan membeli peralatan sekolah. Sepeda motor besar yang dipakai Abah sangat lebih dari cukup untuk memboncengkan dua bocah kecil seperti kami berdua. Aku dan Ida sama-sama mengenakan rok berwarna merah, kaos kaki berenda dan sepatu panshoes hitam berpita merah. Tak lupa Ida berkali-kali mematut di depan kaca sebelum berangkat.
"Mbak, apakah aku sudah ayu?"
"Mbak, apakah aku sudah pantas masuk sekolah?"
Aku Cuma mengangguk tanda setuju dan tersenyum serta secepatnya menggandeng Ida ke halaman rumah karena abah sudah membunyikan klakson motor gede nya beberapa kali.
Bertumpuk buku, kotak pensil, tas, alat tulis, baju seragam, sepatu dan berbagai perlengkapan sekolah. Setelah maghrib dan mengikutiku sholat dan berdoa, doa Ida pun terucap tentang keinginannya untuk segera sekolah. Bagi Ida, sekolah adalah sebuah impian yang akan menghantarkan cita-citanya setinggi rembulan. Sekolah akan membuatnya pintar sehingga ia bisa terbang ke rembulan.
"Aku mau sekolah yang tinggi biar aku bisa terbang tinggi"
Itu selalu yang terucap di mulut Ida. Sekolah dan rembulan seolah sepasang cita-cita yang berpelukan erat di dalam jiwanya. Malam itu Ida habiskan dengan lelap tertidur diantara bantal, guling dan buku-buku serta perlengkapan sekolah lainnya. Wajah Ida jernih, wajah Ida bersih seolah mengalir bulir bulir kasih di setiap pori pori tubuhnya.
Pagi itu aku sedang mandi ketika seisi rumah tiba-tiba kalut dan kalang kabut. Aku hanya memakai kembali baju tidurku untuk kemudian lari keluar rumah. Api menyulut dan meninggi, semua orang panik. Seolah kiamat kecil tengah terjadi. Abah berlari kesana kemari, ibuku mengabsen kami anak-anaknya. Ibu mengabsen para asistennya. Seolah lengkap namun kemana Ida, kemana Farida AlSharafi  adikku yang ayu ?  Kemana wajah rembulan itu ?
Ibu histeris, menangis tersedu sedu. Aku hanya bengong dan mengeluarkan air mata tanpa suara. Ida......Ida......Ida. Mas  Har, Mbak Nanik, Mas Arifin dan Mbak Tatik menenangkan kami. Mas Umar nekad masuk di kobaran api untuk menyelamatkan Ida. Mas Umar yang pemberani itu gak takut oleh panasnya api, Ida harus selamat. Kami semua harap harap cemas menunggu. Mas Umar kembali dengan lesu, wajah hangus bermandi jelaga. Jasad Ida terbakar bersama peralatan sekolahnya.  Ida terbang menuju rembulan, Ida kembali ke surga. Innalilahi wainna ilaihi raji'un, Alfatihah buat almarhumah Farida binti Yazid AlSharafi.................................
Memory di suatu masa di Kampung Sorogenen-Surakarta
                                                      Batoh, 03082018  (Tulisan ini pernah dimuat di Plukme)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H