Salah satu perdebatan utama yang meragukan keberlanjutan mobil listrik di Indonesia adalah kenyataan bahwa sebagian besar listrik dihasilkan dari pembangkit listrik berbasis batu bara dan gas. Dalam tulisan yang diterbitkan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), dikatakan bawa lebih dari 88% dari listrik yang dihasilkan berasal dari bahan bakar fosil, yaitu sekitar 60% dari batu bara, 22% dari gas alam, dan 6% dari minyak, dan hanya 12% yang dihasilkan dari energi terbarukan. Jika sumber listrik yang digunakan untuk mengisi daya mobil listrik berasal dari bahan bakar fosil, maka keuntungan lingkungan yang diharapkan dari kendaraan ini akan berkurang.
Produksi baterai untuk mobil listrik memerlukan energi yang besar dan menghasilkan emisi karbon yang signifikan. Salah satu studi yang dilakukan oleh McKinsey and Company menyatakan bahwa dalam proses pembuatan baterai mobil listrik berbasis baterai (BEV), terjadi emisi sekitar 40% lebih tinggi daripada kendaraan hibrida dan mesin bensin, terutama disebabkan oleh proses ekstraksi mineral seperti Li (litium), Co (kobalt), dan Ni (nikel). Jika produksi ini dilakukan di negara yang listriknya masih bergantung pada bahan bakar fosil, maka emisi total yang dihasilkan dari siklus hidup mobil listrik bisa jadi hampir sama atau bahkan lebih besar dibandingkan dengan mobil konvensional.
Di sisi lain, infrastruktur pengisian daya yang memadai merupakan prasyarat penting untuk adopsi mobil listrik secara luas. Akan tetapi, di Indonesia, jaringan stasiun pengisian daya (SPKLU) masih terbatas terutama di luar kota-kota besar. Pengembangan infrastruktur ini membutuhkan investasi besar dan waktu yang tentunya tidak sedikit.
Selain itu, kendaraan listrik dan baterai masih merupakan teknologi yang relatif baru dengan berbagai tantangan teknis dan ekonomis. Misalnya, biaya awal yang tinggi dan ketidakpastian mengenai umur panjang dan efisiensi baterai masih menjadi penghalang utama bagi konsumen.
Pembandingan dengan Negara-Negara Eropa
Di Eropa, mobil listrik memang bisa dikatakan lebih ramah lingkungan karena banyak negara di benua tersebut yang menggunakan sumber energi terbarukan seperti angin, matahari, dan hidroelektrik untuk menghasilkan listrik. Negara-negara di Eropa telah lama berinvestasi dalam infrastruktur energi terbarukan dan kebijakan yang mendukung transisi dari bahan bakar fosil ke energi alternatif. Misalnya, di Norwegia, hampir semua listrik berasal dari sumber energi terbarukan, terutama dari hidroelektrik. Bahkan laporan terbaru perusahaan konsultan energi, Enerdata, mencatat Norwegia sebagai negara yang memproduksi energi listrik terbarukan terbesar di dunia yang persentasenya mencapai 99% dari total produksi energinya di 2021. Hal ini membuat mobil listrik di negara tersebut memiliki jejak karbon yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan mobil konvensional, karena listrik yang digunakan untuk mengisi daya kendaraan berasal dari sumber yang ramah lingkungan.
Selain Norwegia, Jerman juga merupakan contoh negara yang telah sukses mengintegrasikan energi terbarukan ke dalam sistem listrik nasionalnya. Jerman telah berinvestasi besar-besaran dalam tenaga angin dan surya. Bahkan menurut Menteri Ekonomi Jerman, Robert Habeck, yang dikutip dari Reuters (4/1) menyatakan bahwa Jerman telah melampaui angka 50% pada energi terbarukan untuk pertama kalinya. Terlebih lagi dengan infrastruktur pengisian daya yang canggih, mobil listrik di Jerman beroperasi dengan jejak karbon yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan mobil berbahan bakar fosil.
Di sisi lain, Swedia juga menunjukkan komitmen yang kuat terhadap energi terbarukan, dengan sebagian besar listriknya berasal dari tenaga hidroelektrik dan nuklir, serta peningkatan signifikan dalam tenaga angin. Menurut laporan World Economic Forum (WEF) berjudul Fostering Effective Energy Transition 2023, Swedia dinyatakan sebagai negara dengan kinerja transisi energi terbaik di dunia, dengan skor Energy Transition Index (ETI) sebesar 78,5, yang merupakan skor tertinggi di antara semua negara yang dianalisis. Hal ini memungkinkan mobil listrik di Swedia untuk mengisi daya dari jaringan listrik yang sebagian besar bersih, sehingga mengurangi emisi secara signifikan.
Sedangkan di Belanda, meskipun negara ini tidak memiliki sumber energi hidroelektrik yang besar seperti Norwegia atau Swedia, pemerintah Belanda telah berfokus pada pengembangan tenaga angin dan surya. Mengutip dari International Trade Administration, produksi energi terbarukan di Belanda meningkat sebesar 2% dan produksi bahan bakar fosil menurun sebesar 1%. Sumber energi terbarukan di Belanda sendiri menyumbang sekitar 40% dari total produksi listrik, di mana angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 3%. Bahkan pemerintah Belanda, seperti yang tercatat keterangan pemerintahan, merombak kebijakan fiskal 2021 terutama pada aspek perpajakan dan menaikkan tarif pajak untuk kepemilikan kendaraan bermotor. Negara dengan julukan Negeri Kincir Angin ini juga sangat berinisiatif dalam membangun infrastruktur pengisian daya listrik yang luas, seperti yang dicatat dalam laporan tahunan Automotive Disruption Radar (ADR) ke-6, di mana Belanda adalah negara paling dominan di bidang infrastruktur dengan rata-rata 29,3 stasiun pengisian baterai listrik per 100 km.
Keberhasilan negara-negara Eropa dalam membuat mobil listrik yang lebih ramah lingkungan didukung oleh kebijakan pemerintah yang proaktif, investasi dalam teknologi energi terbarukan, dan kesadaran tentang lingkungan yang tinggi di kalangan masyarakat. Hal ini berbeda dengan situasi di negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, di mana sumber listrik masih didominasi oleh bahan bakar fosil yaitu sekitar 78%, seperti yang dilansir dari ASEANÂ Centre of Energy. Untuk mencapai tingkat keberlanjutan yang sama, Indonesia perlu berkomitmen penuh pada transisi energi yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Solusi dan Langkah ke Depan