Pasti menyapa
Dalam perjalanan mu kali ini, seperti sepi tak ada sapaan dari orang yang kau harapkan.Â
Langkahmu terus menapak menyusuri tiap sudut jalan dengan tertatih-tatih dan memeluk perih.Â
Di tempat yang asing ini, harapan kedua malaikatmu menguatkan tiap deru pilu harimu.Â
Menepi duduk terdiam merehatkan telapak yang mulai mengeras.Â
Memandangi langit seraya bertanya-tanya kepada pemiliknya
Memejamkan kedua mata dan berbisik lembut angin tanda membalas pertanyaan.Â
Terbukalah mata dan simpul sederhana tercipta. Â
Sudah lama kau berjalan sendiri, diragukan, diremehkan, dipandang sebelah mata oleh mereka-mereka.
Tak ada tempatmu berteduh dan mengeluh tentang beratnya harimu. Masih saja mereka mencela dengan mulut tercela mereka, bahwa kau tak cukup pantas dengan semua mimpi yang kau renca. Kau pinta sosok itu menemani langkahmu, nyatanya hatinya bukan untukmu.
"Takdir apa lagi ya Tuhan!" Kau mulai merasa lelah dengan semua kuat yang selama ini kau empat. "Kapankah waktu itu hadir!" Kau mulai menagih janji Tuhan-mu.Â
Lagi, tak ada cara lain, selain tetap meneruskan langkahmu itu. Sambil terus mengeluh dan berpeluh-peluh. Kau yakinkan dirimu akan baik-baik saja. Tak apa menjadi sendiri. "Jika ini jalanku untuk terus beduaan dengan Tuhan-Ku. Semoga Engkau tak menyerah terhadapku yang sungguh tak tahu diuntung ini ya Tuhan!"
Sekian, keluh hamba pinggir jalan tentang kesendirian dan kemandirian (katanya).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H