Mohon tunggu...
Nurina zain
Nurina zain Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi FDK/BPI 22 uin walisongo semarang

suka jalan-jalan, membaca buku, menulis puisi, menggambar dan menikmati pemandangan alam

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tentang Tuhan Yang Maha Cinta

25 Mei 2024   14:00 Diperbarui: 27 Mei 2024   22:59 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: doc. Nurina zain

Dalam perjalananku, kedua bola mataku menjadi saksi atas apa yang kulihat

Orang kaya dengan gemerlap kemewahannya

Mendongakkan kepala dengan wibawa yang dibawanya

Perut buncit badan berisi 

Menenteng kunci berlogo benda yang sepertinya bermerk tinggi

Wangi bersih jauh dari sentuhan lalat hijau

Pedagang kecil dipinggir jalan

Bersemangat menyiapkan jajanan

Hal yang paling ku suka adalah semangat gembira menyambut calon pembeli dihadapannya

Ia singkirkan jauh-jauh perasaan kecil demi menyambut rezeki tetap mengalir

Tuhan, apakah Kau limbahkan rezekinya di raut wajahnya itu?

Pengamen bertato dan bertindik

Bernyanyi lantang mengorbankan urat malu menepis cecaran dan pandangan direndahkan

Baginya kehidupan tak lagi berpihak padanya 

"Lantas apa yang dapat kulakukan lagi?" pikirnya (mungkin)

Pandangan orang-orang jelas menghujam pribadinya

Katanya malas dan kaum-kaum frustasi

Di cap rusak dan tak layak

Anak kecil bermata mutiara

Memandangiku penasaran, tercuatnya senyum tanpa noda ke arahku

Kubalas senyum kecil sambil memerhati kebahagiaan sederhana yang ditampilkannya

Ia mengayunkan kedua kakinya yang mungil 

Dikenakannya jaket tipis serta rambut sedikit lusuh basah karena keringat.

Dihadapannya, bapak berumur 30-an berjaket hitam dan hijau bertuliskan "gojek" serius menyuapi bocah itu sambil memakan hidangannya sendiri

Bergantian antara anaknya dan dirinya

Terlihat serius dan cepat, tak tahu apa yang dipikirkan oleh sang bapak 

Pemuda yang giat-giatnya berusaha

Dengan penampilan dan gayanya

Sungguh rapih dan harum

Berusaha mengenalkan siapa dirinya dihadapan dunia

Tanpa canggung dan percaya

Dunia akan bersahabat terhadapnya

Segala tantangan yang ada

dihadapi dengan semangat juang yang membara

Terlihat begitu menawan dan mempesona

Sekelibat juangnya memercik di tubuhku yang tak cukup kuat lagi berkaca

Orang gila dipinggir toko

Menikmati dunia dan makanannya

Dunia apa yang dibayangkan olehnya?

Akankah dunia yang ku lihat saat ini tak lagi sama seperti yang kau lihat?

Dimana perginya wajah seriusmu tentang optimisme dunia ini?

Apakah kau tak lagi dapat melihat bagaimana indah Tuhan menciptakan semua ini?

Seperti mekarnya bunga melati yang mewangi di pagi hari?

Aroma kopi pagi dipinggir jalan bertuan supir angkot 

Pandang wajah itu kosong

Ia tertawa dan berbicara dengan entah siapa

Raganya berjalan di atas bumi

Namun kemana perginya jiwa itu?

Kakek tua setengah renta 

Mendorong gerobak sampahnya

Dijalanan yang menurun berduyun-duyun

Diseret grafitasi mengajak terjun

Dengan setengah bungkuk, bersepatu kumuh bertopi lusuh 

Tak tertampak masa tua yang sejahtera

Tak ada kata pensiun tuk menikmati detik-detik akhir nafasnya

Semua dikerjakannya sebab tanggung jawab sebagai makhluk yang berperut

Mengisi lambung penyambung hidup

Sedikit menyalahkan, kemana perginya anak-anaknya?

Tapi aku tak tahu menahu bagaimana kondisi sebenarnya

Aku hanya orang asing yang berjalan melewati kakek tua itu 57 detik lalu

Pemuda lusuh ber-hoody hitam

Membawa karung rongsok sebelum lapar menikam

Kurus tinggi berambut kumal dan merah

Teliti mencari sisa barang yang bisa dijadikan secercah cerah

Menelusuri tiap pojok pertokoan

Tangannya mahir mencantol botol-botol kosongan

Ia bergelut dengan dinginnya udara

Bangun lebih awal dari jam tidur sang surya 

Pemuda itu tak terlihat ceria nampaknya 

Yang ku lihat, ia hanya menjalani kegiatannya apa adanya 

Akupun tak tahu apa yang sedang dipikirkannya 

Ia sedikit menundukkan kepala 45° ke arah tanah

Kepalaku bertanya, bagaimana keluarganya? 

Dengan siapa ia tinggal?

Sebelum pikiranku menduga-duga lebih jauh 

Ia pun segera hilang dari jangkauan mataku 

Ku hela napas melipat tangan

Ya Tuhan, semua ini bagian dari rencana-Mu bukan?

Ibu muda berambut merah 

Menggendong anaknya terengah-engah 

Diusianya, ambisi cita-cita sedang membakar dirinya

Saat ini ambisinya hanya tentang anaknya semata

Aku tak berani berfikir bahwa itu keputusan mutlaknya

Aku juga tak berani berfikir bahwa dia korban kondisi keluarganya

Yang ku lihat, semoga pengorbanan dan semangatnya terus mengalir kepada wajah kecil yang digendongnya 

Wanita cantik yang sungguh seksi

Sangat mandiri dan berani

Wanita muslimah yang lemah lembut 

Anggun berjalan menyusuri jalan ramai yang ribut

Jika ku tuliskan semua, tak akan cukup waktu tuk menuliskannya

Suguhan kehidupan pinggiran kota untuk pemudi mungil yang menerjang arusnya di kota orang.

Bandung, 3 Juli 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun