Dari kedua kasus ini logis nggak sih kalau kita samakan? Misal sama-sama orangnya yang kita salahkan, atau sama-sama perangkatnya yang kita salahkan.
Nggak kan? Â
Kenapa?
Sebab kedua kasus itu berbeda. Yang satu kesalahan memang ada pada orangnya (gagap teknologi alias gaptek), sedangkan yang satunya lagi kesalahan ada pada perangkatnya (hapenya versi jadul)
Pun demikian dalam hal demokrasi dan khilafah. Bila ada yang berkata:
"kalau ada sisi negatif demokrasi, yang mereka salahkan sistemnya. Kalau ada sisi negatif khilafah, yang mereka salahkan orangnya. Double standard woyy"
Bukan kita yang tidak adil dalam menilai dan menggunakan standar ganda. Tapi karena memang kedzoliman (sisi negatif) yang ada dalam sistem demokrasi dan kedzoliman yang ada dalam sistem khilafah itu berbeda penyebabnya. Â
Kalau kedzoliman dalam sistem demokrasi adalah karena memang aturan-aturan yang ada dalam sistem demokrasi berpotensi melahirkan kedzoliman. Sebab aturan-aturan yang ada berasal dari rakyat (manusia). Sebagaimana dalam semboyannya yaitu "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat".
Padahal manusia itu sifatnya terbatas dan tidak mengetahui hakikat sesuatu. Sehingga berpotensi menimbulkan perbedaan dan kedzoliman.
Misal, disahkannya UU migas yang membolehkan sumber daya alam berupa minyak dan gas dikuasai oleh pihak swasta bahkan asing secara legal. Padahal efeknya, kalau sumber daya alam yang melimpah ruah sampai jatuh ke tangan swasta lebih-lebih swasta asing, maka keuntungan yang dihasilkan hanya akan dinikmati segelintir orang saja. Sedangkan rakyat hanya bisa gigit jari. Bukankah ini berarti kedzoliman yang disebabkan oleh aturan?
Berbeda dengan sistem khilafah. Dalam sistem khilafah secara jelas ada aturan yang melarang pihak swasta dan asing untuk menguasai sumber daya alam yang melimpah ruah seperti hasil tambang, minyak, batubara, hutan, air dan sumber daya alam lainnya yang jumlahnya sangat besar.