Dari sekian banyak barang di rumah, ada satu yang sangat-sangat saya sayangi, yaitu mesin jahit. Saya punya dua, si hitam dan si putih. Si hitam saya beli dari bisyaroh pertama menjadi guru. Si putih, hadiah dari suami. Si hitam sudah lama tidak saya gunakan karena berat, tidak ada dinamonya. Kalau sedang ingat ya dilap, diminyaki, selebihnya dibiarkan sampai berdebu di pojokan. Suami pernah mengusulkan untuk dijual saja. Lha saya tolak , lha wong ini mesin riwayat.
Menjahit menggunakan si putih itu enak. Tidak capek karena ada dynamo, Â bisa dipindah kemana saya suka, gampang mengangkatnya. Stiknya juga bermacam-macam, lurus, zig zag, renda-renda, tanpa mengganti jarum.
Setiap ada waktu luang, saya menjahit. Bikin baju, daster, gamis dan lain-lain. Seperti ada yang kurang bila melewatkan hari tanpa berkencan dengan si putih. Hasilnya, lemari pakaian saya penuh. Dua pertiga lemari isinya pakaian saya. Sisanya milik suami yang sebagian besar seragam dari sekolah.
Kadang saya merasa seperti anak kecil yang mempunyai mainan baru. Setiap selesai membuat baju,saya memajangnya dan memandangnya lama-lama bahkan sampai saya bawa ke kamar tidur. Saya pajang di balik pintu agar saya dapat memandanginya lama-lama sampai tertidur. Dipakai sebentar lalu disimpan.
Yang sering saya pakai untuk sehari-hari di rumah adalah daster. Itu loh baju longgar yang berlengan panjang dan panjangnya semata kaki. Enak makenya tinggal sat set, gak repot mengancing karena memang tak ada kancingnya. Gerakan saya di dapur yang kadang-kadang seperti pendekar itu tidak terganggu karena longgar. Lagipula daster itu multi fungsi, bisa untuk menjadi masker sekaligus lap.
Anehnya daster itu makin lamah makin enak dipakai. Apalagi yang sudah sobek-sobek. Â Saya punya daster favorit, yang sobek di bagian ketiak. Duh, nyaman sekali makenya. Suer!
Kalo suami pulang, barulah saya pakai daster bagus, biar pas beliau pulang dari mengajar  nggak pingsan liat saya pakai daster sobek kayak abis latihan militer. Tentunya di depan suami, harus memakai pakaian terbaik dan wewangian. Juga berdandan tentunya. Agar hatinya senang saat bertemu istri di rumah.
Suatu hari, suami marah karena saya menolak ketika diajak menghadiri acara pernikahan. Teman dekatnya mantu.
"Mendadak sekali, Â Yah. Biasanya 'kan undangan disebar seminggu atau dua minggu sebelumnya."
"Sori, Bu. Lupa." Dengan santai suami menjawab. "Memang kenapa? Besok 'kan kita libur."
"Iya, libur. Tapi aku gak punya baju untuk acara besok."
"MasyaAllah, Bu. Baju selemari itu bajunya siapa? "
"Tapi, Yah ..."
"Bu, jangan terlalu terobsesi dengan koleksi. Semua akan ada hisabnya. Baik dihisab, buruk diazab."
.
Saya terdiam.
"Pada saat Yaumil Hisab kelak, tidak hanya amal kita yang ditimbang, barang-barang yang kita miliki pun akan dihisab. Terutama barang yang dimiliki bukan karena kebutuhan. Sesuatu yang banyak itu akan memberatkan kita nanti. Semua yang kita simpan dan tidak dipakai akan menjadi tabungan dosa kita di akhirat."
Astaghfirullahaladzim!
Saya keluarkan semua isi lemari. Beberapa yang saya suka dan masih nyaman dipakai, kembali disimpan. Beberapa yang sekiranya pantas diberikan kepada orang lain saya masukkan ke dalam kardus. Nanti akan saya kirim ke adik untuk dibagi-bagi. Yang membuat bingung adalah baju-baju yang sebenarnya masih bagus  cuma tidak pantas diberikan kepada orang lain, misalnya baju yang sudah ketinggalan jaman. Siapa yang makai? Nanti dikira alien.
Alhasil, lemari menjadi longgar. Isinya tinggal separo. Dua kali lebaran lagi saya tak perlu beli baju baru.
Terus kemana baju-baju yang tak pantas diberikan kepada orang lain? Karena saya masih ingin berkencan dengan si putih, maka saya potong-potong baju-baju itu. Saya membuat pernak pernik dari kain seperti taplak, sarung bantal, hiasan korden, tas dan cempal (alas panas).
"Dijual, Bu?" tanya suami. Dahinya berkerenyit melihat tumpukan barang di sebelah mesin jahit.
"Iyalah, kan saya nambah vuring, kain kapas, benang, pita dan renda."
"Wah, bisa makin banyak tabungan Ibu, nih,"
"Iyalah, Yah. Mau tak belikan emas," canda saya.
"Emas ada nisobnya lho, Bu.. Harus dibayarkan zakat mal-nya."
Waduh!
"Yah, bagaimana caranya agar barang-barang ini jadi tabungan amal di akhirat nanti?"
Suami tersenyum. "Sedekahkan saja, Bu. Ingatlah yang menjadi milik kita selamanya sampai di akhirat nanti itu hanya tiga. Pertama, yang kita makan sampai habis. Kedua, yang kita pakai sampai usang. Ketiga, yang kita berikan kepada orang lain."
Ide yang bagus. Pada pertemuan PKK, saya membawa pernik-pernik kain itu. Alhamdulillah. Ibu-ibu se-RT suka dengan hasil karya saya. Mereka memilih-milih barang sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
"Berapa harganya, Bu?" tanya Bu Ani yang memilih tas dan cempal kain. "Tasnya bisa dibawa ke pengajian ini. Cempalnya, cantik Bu. Kebetulan saya memang sedang pengin punya cempal. Biasanya pakai serbet."
"Gratis, Bu. Monggo dibawa pulang, semoga bermanfaat."
"Beneran gratis? Alhamdulillah. Semoga Ibu sehat, panjang umur, banyak rejeki, dimudahkan segala urusan dan selalu dalam lindungan Allah SWT."
Amin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI