Mohon tunggu...
Nurifah Hariani
Nurifah Hariani Mohon Tunggu... Guru - Guru yang suka membaca dan senang berkhayal

Guru di sebuah sekolah swata di kota Malang, sedang belajar menulis untuk mengeluarkan isi kepala, uneg-uneg juga khayalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bapak Pulang

20 Januari 2025   17:40 Diperbarui: 20 Januari 2025   17:40 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahkan matematika pun tak serumit cinta. Ibu membuktikannya. 

Ia menyambut cintanya sepenuh perasaan tanpa perlu mempertanyakan.

Ada tujuh hari dalam seminggu, namun hanya ada tiga hari yang kusuka. Hari Ahad, karena sekolah libur sehingga tak perlu mandi pagi-pagi. Selanjutnya adalah hari Kamis dan Jum'at, itu adalah hari Bapak berada di rumah.

"Bapak banyak urusan," jawab Ibu selalu jika kutanya mengapa Bapak tidak pulang setiap hari.

Aku tahu itu karangan Ibu semata. Bukankah bapaknya Alisia yang PNS itu lebih sibuk? Pak Burhan itu setiap pagi bisa mengantar Alisia ke sekolah. Alisia bilang bapaknya bisa pulang sebelum atau sesudah maghrib. Selain Alisia banyak temanku yang bapaknya pulang setiap hari, kecuali bapaknya Ridho yang bekerja di Makassar.

Bapak punya dua toko, yang satu menjual sembako, yang satunya lagi menjual bahan bangunan semacam pasir, semen juga paku. Bapak mendatangi kedua tokonya bergantian bila diperlukan. Mas Reynold, sepulang kuliah akan bergantian dengan Ibu menjaga toko sembako. Sedangkan toko bangunan sudah dipercayakan kepada Tante Yani.

Tante Yani adalah teman sesanggar senam dengan ibu. Dulu ia sering berkunjung ke sini, karena tidak punya pekerjaan. Ibu mengajarinya menggunakan laptop supaya bisa membantu di toko. Perempuan yang sekarang memakai jilbab itu tak pandai berhitung rupanya. Beda dengan ibuku yang pintar, yang bisa berhitung di luar kepala tanpa kalkulator.

Aku tak suka dengan Tante Yani. Pertama, ia menamai anaknya hampir sama dengan namaku, Reyhana dan Reysyana. Padahal kata ibu 'Rey' itu singkatan dari Ramadhan, nama bapak dan Yuli, nama ibu.

Kedua, Tante Yani sering menelepon Bapak. Macam-macam alasannya, anak sakit, barang datang, dan alasan-alasan lain yang katanya penting. Bila sudah begitu, Bapak akan pamit dan lama baru datang lagi.

Ketiga, ini yang paling kubenci, Tante Yani berani menikah dengan Bapak. Sungguh tidak tahu diri! Bukankah ia sudah tahu Bapak sudah punya istri dengan tiga anak lelaki? Kakakku, Reynold. Aku, Reyhan. Dan Reymond, adikku.

Kata Ustadz Fajar, lelaki boleh beristri lebih dari satu, tetapi harus adil. Bapak tidak bisa adil. Ia lebih lama berada di rumah Tante Yani daripada di sini bersama kami.

"Anak-anaknya masih kecil-kecil, di sana," Ibu mengatupkan telunjuknya di bibir, ia mencegah Mas Reynold yang marah karena Bapak tidak jadi datang, padahal Ibu sudah menyiapkan makan malam istimewa.

Itulah ibuku. Orang paling dekat sekaligus paling asing bagiku. Ia sosok misterius yang tidak terjangkau. Ia bisa tersenyum bahkan tertawa riang di pagi dan siang hari. Kepada para pelanggan yang datang ke tokonya, Ibu bisa dengan santai menjawab segala pertanyaan tentang Bapak.

"Alhamdulillah, sekarang saya tahu kemana perginya suami. Saya tidak mengkhawatirkan karena di sana sudah ada yang memperhatikan kebutuhannya."

"MasyaAllah, Bu Yuli sudah mengikhlaskan Pak Haji untuk berpoligami. Benar-benar istri sholihah, panjenengan," cetus seorang ibu yang memakai kerudung biru.

"Tentu saja iklhas, Bu. Nafkah dari Pak Haji lebih dari cukup, banyak, 'luwih-luwih'. Tidak seperti bapaknya anak-anak saya yang harus kerja keras banting tulang tapi masih saja terseok-seok, utang dimana-mana," kata ibu yang lain.

"Lha kalau nafkah saja masih begitu ya jangan boleh nikah lagi, Bu. Memangnya anak orang bisa kenyang cuma diberi cinta? Kok 'nyimut'?" seloroh ibu yang lain lagi. Hari itu banyak pelanggan yang mampir di toko, kebanyakan dari mereka masih tetangga dekat-dekat sini.

"Astaghfirullah ... bersyukur saja ibu-ibu. Begitu cara kita berbahagia dan supaya rejeki makin berkah. Jangan membandingkan kehidupan kita dengan orang lain," kata Ibu.

"Apakah Bu Yuli bahagia?" tanya ibu yang berkerudung biru.

Sejenak ibu terdiam, kuliihat ia menunduk. Hanya sebentar. " Belanja apalagi Bu? Sedang ada promo minyak goreng lho. Murah! Meskipun merek baru tapi saya berani menjamin, tidak apek, tidak mudah panas. Monggo ibu-ibu. Mas Reynold tolong minyaknya diturunkan." Ibu mengalihkan perhatian ibu-ibu pelanggannya.

Itu juga yang sering ingin kutanyakan kepada Ibu. Apakah Ibu bahagia?

Kamarku dengan kamar Ibu berdekatan, jika tak ada Bapak, Ibu tak pernah menutup pintu kamarnya. Aku yang sering terbangun di malam hari, sering mendengar Ibu menarik ingusnya. Seperti ada isak tertahan, mungkin takut ada yang mendengar. Namun aku tahu Ibu sedang menangis, terlihat bahunya sesekali terguncang. Pernah aku menghampiri dan bertanya kepadanya. Ibu menjawab sedang sakit perut atau baru saja mengalami mimpi buruk.

"Tidurlah, Reyhan, ibu tidak apa-apa," begitu selalu jawaban Ibu.

Padahal aku ingin menemaninya. Ingin sekali kuusap punggungnya dan berkata," Tenanglah, Ibu, berhentilah menangis, apa pun yang terjadi semua akan baik-baik saja."

Keadaan baru menjadi baik ketika Bapak pulang. Sehari sebelum Bapak pulang, Ibu mempersiapkan segalanya. Ia membersihkan kamar, mengganti sprei, korden juga karpet. Kamar menjadi bersih dan wangi. Ibu juga menaruh bunga mawar merah di meja sudut.

"Ciee ... ciee ... kayak pengantin baru saja," goda Budhe Marmi yang ikut membantu di rumah kami.

Ibu hanya tersenyum. Ia tampak makin cantik setelah melakukan perawatan di salon kecantikan. Matanya yang sendu menjadi berbinar. Rambutnya yang sebagian memutih, diwarnai dengan hena lalu dipotong sedikit sehingga nampak lebih muda beberapa tahun.

Biasanya Ibu akan memasak sendiri, makanan kesukaan Bapak. Sayur nangka muda yang dipenuhi dengan ceker dan kepala ayam, ikan asin gendok yang dimasak dengan cabe dan tomat hijau, tahu yang digoreng setengah matang lalu dipenyet diatas sambal bawang yang disiram dengan minyak jlantah.

Begitulah ibuku, Bapak adalah sepenuh semestanya. Ia tak peduli meskipun lelaki separo baya itu telah membagi cinta yang membuatnya terluka.

"Ibu, apakah Ibu menikah dengan Bapak, karena cinta?" tanya Mas Reynold suatu ketika. Kakak sulungku itu tak pernah berhasil membenci Bapak. Itu karena Ibu yang tak pernah lelah menasehatinya dan mengatakan yang baik-baik tentang Bapak.

"Mengapa bertanya begitu?" Ibu balik bertanya.

"Perempuan lain ada yang minta cerai ketika diduakan. Ibu tidak melakukannya, padahal bisa."

Ibu sepertinya tidak mau menjawab, ia malah sibuk mengayun Reymond yang menangis minta digendong.

"Bu ..." Mas Reynold masih mendesak.

Aku mengecilkan volume TV. Di usia pubertas ini aku mulai tertarik dengan istilah 'cinta'.

"Ya, karena ... Allah," jawab Ibu lirih.

"Iya, Reynold tahu, semuanya terjadi karena Allah, Bu. Tapi ... karena cintakah?" serbu Mas Reynold.

Ibu mengangkat pundak. "Tanyalah kepada Bapakmu, nanti."

"Bukankah hal yang biasa menikah karena cinta. Ali mencintai Fatimah, sebelum menikahinya. Khadijah adalah cinta pertama Rasulullah. Saking cintanya, Rasulullah tidak menikah selama bersama Khadijah."

Mas Reynold bisa saja. Aku tahu karena ia sudah menyelesaikan bacaan Shirah Nabawiyah.

Bahkan matematika pun tak serumit cinta. Ibu membuktikannya. Ia menyambut cintanya sepenuh perasaan tanpa perlu mempertanyakan. Di suatu sore, saat hujan gerimis, sebuah mobil berhenti di depan rumah. Sopirnya mengetuk pintu, meminta Ibu untuk mengambil penumpangnya.

"Bapak?" jerit Ibu tertahan. Ia memanggil Mas Reynold dan Komar, pembantu kami.

"Payungi bapakmu!" titah Ibu. Ia memandu Mas Reynold dan Komar yang menggotong Bapak masuk ke dalam rumah.

Aku yang sedang menonton TV tercengang. Bapak, apa yang terjadi denganmu? Tubuhmu lemas tanpa tenaga. Bahkan untuk menggerakkan tubuh saja tak bisa.

Sampai beberapa hari kemudian, Bapak masih tetap di rumah. Lelaki yang kelihatan menua itu hanya tergolek di atas ranjang. Setiap pagi, ibu menggosok tubuhnya dengan waslap, memakaikan baju dan menyisir rambutnya. Saat makan, Ibu yang menyuapi. Ibu bercerita banyak tentang apa saja sedangkan ia hanya menanggapi dengan anggukan dan suara yang tidak jelas. Kukira Bapak lupa caranya berkata.

"Stroke," jawab Budhe Marmi ketika kutanya penyebab Bapak menjadi seperti itu.

"Kuwalat sama ibumu itu. Lihat saja, Yani yang katanya cinta itu malah menendangnya. Ora sudi, meskipun kaya kalau lumpuh, buat apa? Untung ibumu mau menampung, jika tidak, bisa jadi gelandangan dia." Budhe Marmi mengomel, sejak dulu ia tidak setuju Bapak mempunyai istri muda.

Masalahnya sekarang, Ibu jadi makin repot dengan kedatangan Bapak. Seluruh waktu Ibu habis untuk mengurus Bapak. Ibu yang dulu gelisah dalam setiap tidurnya, sekarang malah tak pernah tidur.

"Ibu, setelah bertahun-tahun bersabar, inilah yang Ibu dapatkan. Bapak pulang namun malah merepotkan. Ibu kurang tidur dan sering lupa makan. Bila Ibu berkenan, kita bisa mengirim Bapak ke Panti Jompo. Kita bisa membayar yang premium. Ibu bisa beristirahat, melakukan apa yang Ibu suka." Mas Reynold memohon kepada Ibu. Tak tega rupanya ia melihat Ibu yang makin kurus.

"Nak, apakah Ibu sudah terlalu lama mengabaikan kalian? Ibu tak sadar kalian tumbuh sedewasa ini, pemikirianmu sebijak ini. Maafkan, Ibu." Perempuan bermata teduh itu menunduk.

"Di dunia ini banyak hal yang kita inginkan namun tidak kita dapatkan. Semuanya sudah menjadi ketetapannya, semata untuk menjadi pelajaran berharga. Besar kecilnya masalah yang menimpa kita, Tuhan pasti punya rencana di balik semua ini. Bukankah, Allah Mahabaik?" lanjut Ibu. Ia memeluk kami bertiga.

"Ibu, apakah Ibu bahagia?" tanyaku. Lancang sekali, tapi aku ingin mendapatkan jawabannya.

"Hanya Allah yang membuat kita bahagia. Tidak ada yang lain."

Duh, Ibu masih juga dirimu berteka-teki denganku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun