Ibu sepertinya tidak mau menjawab, ia malah sibuk mengayun Reymond yang menangis minta digendong.
"Bu ..." Mas Reynold masih mendesak.
Aku mengecilkan volume TV. Di usia pubertas ini aku mulai tertarik dengan istilah 'cinta'.
"Ya, karena ... Allah," jawab Ibu lirih.
"Iya, Reynold tahu, semuanya terjadi karena Allah, Bu. Tapi ... karena cintakah?" serbu Mas Reynold.
Ibu mengangkat pundak. "Tanyalah kepada Bapakmu, nanti."
"Bukankah hal yang biasa menikah karena cinta. Ali mencintai Fatimah, sebelum menikahinya. Khadijah adalah cinta pertama Rasulullah. Saking cintanya, Rasulullah tidak menikah selama bersama Khadijah."
Mas Reynold bisa saja. Aku tahu karena ia sudah menyelesaikan bacaan Shirah Nabawiyah.
Bahkan matematika pun tak serumit cinta. Ibu membuktikannya. Ia menyambut cintanya sepenuh perasaan tanpa perlu mempertanyakan. Di suatu sore, saat hujan gerimis, sebuah mobil berhenti di depan rumah. Sopirnya mengetuk pintu, meminta Ibu untuk mengambil penumpangnya.
"Bapak?" jerit Ibu tertahan. Ia memanggil Mas Reynold dan Komar, pembantu kami.
"Payungi bapakmu!" titah Ibu. Ia memandu Mas Reynold dan Komar yang menggotong Bapak masuk ke dalam rumah.