Lima belas menit sebelum waktu habis, Xuan terbangun. Teman-temannya menahan tawa, demikian pula saya.  Sadarlah ia telah dikerjai.  Dengan muka masam  ia berjalan menuju pintu lalu keluar tanpa permisi. Beberapa anak yang ada di lapangan menertawainya. Ia berbalik arah , matanya merah melotot ke arah saya, tangannya menunjuk kepada saya dan dari mulutnya tersembur  umpatan . Saya terkesiap, telinga berdenging sedang  dada seperti mau meledak. Begitu  fasihnya remaja tanggung  berambut setengah keriting itu 'misuh'. Saya masih terpana dan bengong ketika ia mengambil tas dan jaketnya dengan kasar lalu melangkah keluar sambil  'nggrundel' yang tidak jelas. Sesaat setelah ia menutup pintu dengan keras, saya seakan tersadar dari mimpi buruk. Bel tanda pulang berbunyi, anak-anak mengumpulkan kertas ulangannya tanpa berkata-kata , mencium tangan saya lalu melangkah pulang tanpa suara.
DI ruang guru, saya berbincang dengan wali kelasnya. Beberapa guru pernah juga mengadukan hal yang sama. Ia benar-benar isttimewa. Sebagai guru PPKn, yang mengajarkan moral Pancasila saya merasa gagal.  Tetapi saya bertemu dengannya hanya tiga jam pelajaran selama seminggu. Surat panggilan untuk orang tua sudah dibuatkan, saya berharap menemukan jawaban mengapa Xuan bisa sampai seperti  itu besok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H